Mini Story || Mianhae #3 || Omega Lee

2:30 PM 1 Comments A+ a-

"Mianhae"


 ------------------------------------------------------

Berdiri menatap keluar jendela. Malam yang hitam, pekat. Mendung menyembunyikan bintang dan bulan. Hanya tersisa kerlap kerlip bergerak jauh dibawah sana. Berbaris dan menyalip satu sama lain.

Chanyeol mengernyit saat cairan lolos membakar tenggorokannya, sendirian, sepi, kesepian. Selalu seperti ini.

Berhenti menjadi duri dalam kehidupan orang lain. Berhenti jadi pengkhianat dan mengkhianati semua orang.

Berhenti.... brengsek!!

Pyaaar!!

Gelas permata salah satu koleksinya sudah pecah menjadi beberapa kepingan yang tidak mungkin bisa disatukan lagi. Seperti dirinya, sudah hancur. Bahkan sia-sia jika ingin menyusun ulang.

Duduk bersandar ranjang membiarkan air mata yang seharusnya tidak pernah ada,mengalir bagai hujan diluar sana.

Kekuatan dan kebahagiaan yang dia butuhkan sudah hilang. Dia tidak lagi harus berpura-pura menjadi pria baik-baik. Dia tidak lagi harus menjadi pria yang menawan dengan kesetiaan. Tidak lagi setelah semuanya hancur.

Kekasihnya sudah pergi dengan seseorang yang sepantasnya pergi bersamanya, bersanding dan bahagia.
Dia tidak lebih dari seorang pecundang yang kalah.

Huh...

"AKU MENCINTAIMU BODOH!! AKU BISA LEBIH MEMBUATMU BAHAGIA DARIPADA BAJINGAN ITU! KAU MILIKKU! DIA MENGAMBILMU DAN KAU DIAM SAJA! BRENGSEK KAU HYO JUNG! ARGHT!!"

Chanyeol menutup matanya membiarkan air mata merembes dari kelopak matanya, mengalir terus mengalir.

--------------------------------------------

"Paman.."

Chanyeol berbalik mendengar suara imut memanggilnya dan segera jongkok mensejajarkan tubuh mereka agar bisa merangkul malaikat kecil seperti reinkarnasi si bunda yang menatapnya masih dengan tatapan sayang.

Banyak yang bilang cinta akan hilang seiring berjalannya waktu. Tetapi entah waktu memang kejam atau egois. Cinta yang terpendam selama bertahun-tahun bahkan tidak berkurang sedikitpun. Masih sama dan tidak berubah.

"Aku merindukanmu."

Tangan mungil merangkul melingkari leher Chanyeol sedanghan Chanyeol mengusap punggung kecil dibalut dress ala ala cinderella.

"Selamat ulang tahun, Sayang."

~The End~


Mini Story || Mianhae #2 || Omega Lee

7:30 AM 0 Comments A+ a-

"Affairs"


 ------------------------------------------------------

"Hyo jung~ah kau didalam? Ada tamu ya?"

Senyum yang hangat dan tidak pernah pudar. Tangan menggenggam sebuket mawar merah cukup besar dengan sekotak kue berjalan menghampiri kami, tanpa curiga sedikitpun.

Dia adalah...

"Ah.. ada Chanyeol rupanya. Lama tak jumpa, bro."

Chanyeol kikuk dalam diamnya lalu tersenyum dan memeluk teman lamanya.

"Lama tak jumpa, Kai."

"Kau selalu lebih dulu dariku padahal aku suaminya. Haha kau memang sahabat yang baik. Bukan begitu, sayang?"

Aku tersenyum miris, pasrah dalam pelukan Kai dan diam saat dia menciumku, didepan Chanyeol.

Hambar dan sakit.

Aku bisa melihat Chanyeol memalingkan wajah sebisanya,mencoba menghindari apa yang ada di depannya.
Mianhae. Jeongmal mianhae.

"Ehm.." Chanyeol berdehem untuk menghilangkan suasana canggung seperti ini dan berharap Kai untuk tidak menciumiku.

"Bisa lakukan nanti saat aku tidak disini? Aku merasa... agak.. aneh."

Kai tertawa. "Maafkan aku, teman. Aku terlalu bahagia. Dan kau tahu, aku harap Hyojung belum memberitahumu. Bahwa sebenarnya dia..."

"Oppa.." aku memotong cepat sebelum Kai semakin nenghancurkan perasaan Chanyeol. Cukup sudah untuk pertunjukkan tadi yang sudah membakar Chanyeol menjadi arang.

Aku tidak ingin melihat Chanyeol semakin hancur menjadi serpihan debu dan terbang tertiup angin.

"Ada apa, Kai? Katakan saja. Aku penasaran."

Dia mengatakannya sambil menatap tajam padaku.

Aku mohon oppa. Jangan lakukan itu. Aku mohon. Aku tidak sanggup melihatnya.

"Dia hamil. Kau akan dapat keponakan. Kau senangkan? Haha.."

Tidak. Aku mohon. Tidak.

Chanyeol termangu dalam posisinya, tidak bereaksi apapun. Hanya menatapku. Terus menatapku. Bahkan saat Kai sangat gembira dan menciumi rambutku dan mengusap perutku. Dia juga tidak bereaksi apapun.
Mianhae.

"Aku turut senang. Selamat ya."

Kaku.

"Aku tahu kau pasti senang."

Bodoh. Tolol.

"Aku harus pergi. Kau tahu maksudku kan.."

Aku meneguk ludahku seperti menelan pil pahit. Hancur sudah semuanya.

"Kau memang perhatian. Terima kasih paman Chanyeol."

Chanyeol membalas dengan senyum miris sebelum meraih coat dan berjalan keluar. Tanpa melihatku.

Mengacuhkan ku.

Tbc

Mini Story || Mianhae #1 || Omega Lee

5:00 PM 0 Comments A+ a-

"I Love You"


 ------------------------------------------------------

Happy Birthday, Bae!

Door!

Potongan demi potongan kertas warna warni jatuh mengguyurku tiba-tiba begitu aku melangkah masuk apartemen ku. Balon dimana-mana. Menghiasi atap, menempel di dinding dan berserakan di lantai.

Aku merengut. Tahu siapa yang telah membuat kekacauan ini di tempatku. Tidak lain, dia adalah Chanyeol.

Pria yang baru keluar dari tempat persembunyiannya dengan kue berhias lilin angka ditangannya, berjalan ke arahku.

"Saengil chukkae hamnida... Saengil chukkae hamnida.. Saranghaneun uri Hyo Jung. Saengil chukkae hamnida."

"Oppa.."

"Make a wish," bisiknya lembut sebelum mencium keningku.

Aku patuh dan menutup mataku. Menggumamkan doa yang sama, setiap hari, setiap saat. Bahwa aku dan dia akan selalu bersatu dan bersama untuk selamanya. Tidak ada hal yang membahagiakan lainnya tanpa dia disisiku. Dia sebuah alasan ku untuk tertawa, dia alasan ku untuk bahagia. Dia sebuah alasan yang kuat bahwa inilah dunia dengan seluruh ketidakadilan tapi aku bisa mengatasinya.

Aku membuka mata dengan dia yang masih tersenyum menungguku lalu meniup lilin sebelum leleh mengotori kue. Ini bukan apa-apa, tetapi aku sangat tahu betapa besar pengorbanannya dan kerja kerasnya untuk mendapatkan ini semua.

"Selamat ulang tahun, Jung~ah. Teruslah bahagia dan tertawa. Kau punya hak untuk mendapatkannya. Aku mencintaimu. Selalu mencintaimu. Terima kasih sudah lahir dan tumbuh dengan cantik."

Aku memeluknya tiba-tiba bahkan sebelum dia menaruh kue itu sehingga membuat tangannya oleng sebentar, tapi bisa cepat diatasi.

"Gomawo... jeongmal gomawoyo."

Aku tidak bisa melihat ekaspresinya sekarang. Tetapi aku bisa melihat ciuman kecil di ujung kepalaku bertubi-tubi.

Saranghae Oppa.

Saranghae.

Menutup mata dengan hembusan nafas yang semakin mendekat.

Saranghae Oppa.

Ting.. tong..

Aku seketika membuka mataku, sama sama menoleh kearah pintu dengan gerakan pintu yang terbuka.
Tidak ada yang tahu password apartemen ku kecuali Chanyeol Oppa dan satu orang.. dan itu tidak mungkin dia.

TBC

WOLF #5

11:25 PM 0 Comments A+ a-

#5



 ------------------------------------------------------

"Hai ada apa?"

Kai tersenyum kembali dan mengusap seragamnya yang kotor akibat pergulatan yang tidak bisa aku lihat tadi. Masih dengan merangkul dan tersenyum seakan tidak terjadi sesuatu, dan dengan Luhan yang terus ngedumel tidak jelas dibelakang.

"Berapa lama kalian menungguku?" Tanyaku mengganti topik karena Kai memang benar-benar tidak ingin membahas apa yang baru saja terjadi.

"Cukup lama sampai aku menyadari bahwa sekolahan ini cukup luas dan bodohnya aku lupa bahwa kau kutu buku."

"Kalian membuang-buang waktu."

"Itu benar dan tidak bisa ku bantah." Luhan berjalan terlebih dulu. Tidak ada yang menuju ke arah mobil Kris yang masih terparkir. Semua keluar sekolahan, melewati gerbang dengan berjalan kaki. Untukku ini adalah hal biasa, tetapi aku sungguh tidak tahu dengan dua pria yang membuat siapapun wanita jatuh pingsan karena pesona mereka.

Kami sampai di sebuah halte dengan Luhan yang duduk disebelahku, melipat satu kakinya diatas kaki yang lain dan Kai tetap berdiri tidak jauh dariku, menempel seperti lem. Tidak bisa kupungkiri, aku masih memikirkan Kris. Bagaimana orang itu sekarang? Bagaimana dia sekarang? Apa yang terjadi sekarang? Apa sesuatu hal buruk sedang terjadi padanya sekarang?

Aku terus berfikir sampai tidak menyadari hanya tersisa aku dan Luhan di halte dengan Kai berdiri di pintu bus menatap ke arahku.

"Apa sudah siap pergi? Supir ini sudah sangat cerewet." Kai mendesah pelan dengan gaya kekanak-kanakkan yang menggoda.

Luhan berdiri, begitupun aku. Kami masuk bus dengan banyak sekali tatapan. Oh ya hampir separuh isinya adalah murid satu sekolahanku. Tidak peduli mau junior atau seangkatan, jelasnya kami memakai seragam yang sama.

Untuk beberapa aku cukup terkenal terlihat dari tatapan muak yang siap mengulitiku kapan saja. Dan lainnya menatap Luhan dan Kai dengan rahang terjatuh dan liur berceceran. Iuh... menjijikkan.

Aku duduk dengan Luhan dibelakangku hasil dari merebut paksa pemilik sebelumnya, dan Kai yah dia sudah seperti lem. Berdiri menggantungkan tangannya memegangi tiang penyangga dengan tangan satunya meraih punggung kursiku. Menjebak dan melindungi. Dia semakin posesif.

Seharusnya aku mulai terbiasa sekarang dengan bisik-bisik tentang mereka yang selalu denganku, teman-temanku, pria nakalku. Tetapi aku tidak bisa. Entah menguping atau tersenyum, sedangkan seseorang yang menjadi topik pembicaraan malah tidak bereaksi apapun. Saat aku mendongak, aku melihat mata berkaca-kaca seakan memakai kontak lensa milik Kai sedang menatap keluar jendela. Memperhatikan jalan atau pepohonan atau mobil atau apapun entahlah. Atau mungkin dia sedang merenung. Tidak ada yang tahu. Jelasnya, dia terdiam dengan tangan yang mencengkeram kuat terasa dibalik punggungku.

"Kai, ada apa?" Sesaat dia menoleh dan menatapku.

"Apanya?"

Aku juga bisa melihat Luhan ikut menoleh.

"Tidak ada. Lupakan saja." Saat setelah bus berhenti, tempat dimana aku harus turun.

Aku bisa melihat mereka juga ikut turun dan membuntutiku, tapi aku tahan segera.

"Kalian bisa pulang tanpa mengantarku sampai depan rumah."

Mereka tampak keberatan dengan alis-alis terangkat menandakan protes.

"Tidak bisa. Kami akan mengantarmu tepat kau masuk rumah dengan selamat." Kai yang keras kepala.

"Kau tidak dengar perkataan Kris?" Kini Luhan si jenius yang ingat tentang semua hal.

"Tinggal 100 meter dan tidak akan terjadi apapun. Ini rumahku, wilayahku. Kalian tahu itu."

Kai siap protes lagi dan ditahan Luhan. "Baiklah kami pergi. Sampai jumpa esok hari, Hana."

Aku ikut melambai sampai mereka berdua berbelok dan menghilang.

Memang tidak terjadi apapun. Bahkan aku bersumpah para pembully ku bahkan tidak tahu atau tidak mau tahu tentang kediamanku. Memang untuk apa juga mereka tahu? Membullyku di rumah? Oh ayolah. Bully terdengar seperti sebuah pekerjaan jika mereka sampai melakukannya.

Aku membuka pintu sampai terdengar bunyi menyakiti telinga. Dasar rumah tua. Harusnya aku pindah saja.

"Ya ampun. Apa yang kau lakukan disini, demi Tuhan?" Aku hampir saja menjatuhkan map-map ku saat melihat si tubuh tinggi kurus dengan wajah yang lebih muda dariku atau mungkin dia baby faces? Oh entahlah. Siapa orang asing yang berani masuk ke rumahku?

"Kau! Siapa kau?" Teriakku dengan payung siap menghunus dan bersentuhan dengan hidung mancungnya.

Dia terkejut seketika apalagi dengan payung yang siap membengkokkan tulang hidung yang menawan.

"Wow.. Wow... ayolah. Apa kau zorro?" Ujarnya dengan kedua tangan terangkat ke udara.

"Kau... siapa kau? Jangan sampai gerakan payungku sebagai pertanyaan ketigaku."

Telunjuk lentiknya menurunkan ujung payungku sambil tersenyum.

"Aku tidak yakin jika kau alasan dia menolak untuk bertunangan dengan gadis yang bahkan sebelumnya tidak dia perdulikan."

"Hah?" Aku tidak bisa tidak untuk melongo dengan apa yang baru saja aku dengar.

Apa orang gila yang menerobos masuk rumahku? Karena aku tahu, pencuri tidak akan sudi bahkan sudah jelas rumah reot seperti ini tidak mungkin memiliki barang berharga. Tapi juga tidak mungkin orang gila berpakaian sebagus bahkan lebih bagus dari pakaian terbaikku.

"Kau siapa?"

Dia memutar bola matanya bosan.

"Apa kau tidak bisa melihat bahwa wajahku mirip dengan seseorang? Koreksi tentu aku lebih tampan."

Tebak-tebakkan? Tentu seharusnya ini hal mudah karena aku tidak memiliki banyak orang untuk aku kenal dan hapal wajahnya. Tapi wajah seperti dia ini. Hanya satu yang memiliki.. siapa lagi kalau bukan...

"Taeyong.. aku sudah curiga kau akan berkeliaran disini."

Aku berbalik dan Luhan sudah ada di depan pintu menatap tajam seseorang dibelakang punggungku, dan memelukku sekarang.

"Hyung.. bagaimana bisa kau mengencani wanita yang bahkan tingginya tidak lebih dari daguku?"

Sialan! Tapi apa katanya tadi? Hyung?

"Tunggu dulu!" Aku loncat dan lepas dari pelukan si bocah tengik yang tidak tahu sopan santun. "Kalian saudara?"

"Apa wajah kami tidak mirip?" Taeyong atau Taeyang atau siapapun namanya itu mengedipkan matanya dua kali ke arahku.
 
"Luhan, kau hutang penjelasan padaku."

Kini si imut hanya menghela nafas berat, dengan erangan tertahan melihat apa yang sedang terjadi.

"Dia adikku." Luhan mengatakannya saat kami sedang duduk berhadapan di ruang tamu, tepat saat Taeyong berteriak dan mengorek isi kulkasku yang memang tidak ada isinya.

"Apa kau sungguh tidak memiliki sesuatu yang bisa aku makan?"

"Tidak ada!" Balas teriakku. "Dan cepatlah kau keluar dari dapur ku sekarang dasar kucing garong."

Bagus. Dia penurut. Entah karena aku atau pengaruh kakaknya disini. Tapi melihat dia sudah berhasil menyobek bungkus keripik kentang dan menikmatinya sambil berjalan tentu membuatku ingin sekali melemparkan sandal kena kepalanya.

Bagaimana bisa dia berkata tidak ada makanan yang bisa dia makan bahkan saat dia berhasil mencuri cemilanku.

"Luhan, bisa kau membawa adikmu ini segera keluar dari rumahku? Aku mohon." Kataku dengan wajah semelas mungkin. Setidaknya si bocah tengik ini segera menyingkir.

"Taeyong, ayo pulang." Luhan berdiri dan begitupun Taeyong.

"Oh tentu. Aku juga tidak suka tempat ini. Bahkan dia tidak punya makanan enak."

"Hei! Lalu yang ditanganmu itu apa sekarang? Sampah?" Ujarku tidak terima.

"Ya. Dan aku baru saja memakan sampah. Kau harus bertanggung jawab jika aku masuk rumah sakit karena keracunan."

Aku mendesis. Bocah gila ini. Ya Tuhan. Luhan bagaimana bisa memiliki saudara segila dia.

Tapi parahnya Luhan hanya diam saja dan seakan menikmati apa yang baru saja dia lihat.

Taeyong keluar rumah bahkan tanpa berpamitan, meminta maaf karena sudah menerobos masuk dan terima kasih atas snack nya.

"Hyung, aku tidak setuju kau menikahinya."

Bocah gila. Siapa juga yang akan menikah dengan Luhan. Aku justru sangat sangat sangat tidak sudi punya adik ipar sepertimu.

Ternyata ada Kai diluar. Mereka tampak akrab. Bahkan aku bisa lihat Kai berhigh five dengan Taeyong sebelum akhirnya masuk mobil.

Yah mereka orang kaya. Kemana-mana tanpa harus mengotori kakinya. Diantar jemput dan pergi kemanapun dengan satu perintah.

Kai tersenyum ke arahku dan aku membalasnya.

Sekarang ini lapisan kehidupan benar-benar telihat nyata. Siapa aku dan siapa mereka.

-----------------------------------------------

Luhan keluar dari mainannya, si hitam legam. Mobil yang dinaiki kemarin saat keluar dari rumahku. Kai selalu membukakan pintu untukku. Aku tidak tahu apa dia takut aku mengotori mainan mereka atau membuat lecet atau mungkin karena dia selalu melakukan itu, cara memikat hati wanita.

"Kau siap?"

"Tentu siap? Bagaimana dengan wanita kita ini? Siap?"

Aku terdiam sebentar. "Kenapa bertanya? Tentu sangat siap."

Kami berjalan bersama. Yah, ini yang aku tidak suka. Orang-orang yang awalnya takut dengan wolf jadi terkesan menggampangkan gara-gara aku.

"Kai, kenapa kau selalu bersama dengan kutu buku?"

"Oh kau..." Kai memutar matanya geli. "Aku tidak tahu namamu, tapi aku sangat tahu kau tahu namanya. Jadi panggil dia dengan sopan."

"Kenapa harus?" Balas Kevin.

Tapi Kai mengacuhkannya bahkan tidak repot-repot untuk mendengarkan dan lebih memilih mengajakku berbincang tentang apapun. Aku tidak bisa menyembunyikan tawaku.

"Permisi, Kim Jongin. Aku sedang berbicara denganmu saat ini."

Kai menoleh geli. "Hana, kau mengenalnya?"

"Dia Kevin." Balasku tak kalah geli.

"Tapi Kevin, aku tidak suka berbicara dengan orang yang tidak bisa bersikap sopan dengan temanku. Jadi berhenti memancing perhatianku."

Sialan!

Beruntung hari ini guru tidak bisa masuk dengan meninggalkan banyak sekali tugas yang tentu sudah aku selesaikan kemarin. Disaat orang lain sibuk mengerjakan ataupun menyalin, aku sudah sibuk dengan tugas selanjutnya. Tetapi kali ini aku hanya memperhatikan Kai yang bahkan tidak menyentuh tugasnya.

"Apa kau mau menyalin punyaku?" Tawarku.

"Tidak perlu. Aku tidak pernah mengerjakan tugas sebelumnya." Katanya santai.

"Apa kau gila? Kau bisa dapat catatan hitam dan berakhir dengan skors dan bisa dikeluarkan."

"Itu tidak akan terjadi." Kai membalas seakan sudah terbiasa dengan apapun yang terjadi.

"Tapi.. Kai. Kau tidak bisa diskors ataupun dikeluarkan."

"Kenapa?"

Aku terdiam. Kenapa? 

"Kau takut? Kau takut dibully? Kau takut sendirian? Kau takut. Kau terkesan..."

"Benar. Aku memanfaatkan kalian. Maafkan aku."

"Kita teman kan?"

Aku menunduk, tidak berani menatapnya. Salah dan takut. Mereka menganggap ku teman tapi aku memanfaatkan mereka.

"Hai.. angkat dagumu." Kai menarik daguku agar menatap matanya.

"Jangan takut. Aku akan menjagamu dengan sepenuhnya. Bahkan tanpa Kris atau Luhan, aku sanggup menjagamu sendiri. Berani bertaruh?"

Lidahku kelu. Mata berkaca-kaca milik Kai menghipnotisku untuk semakin mendalami sedalam apa yang bisa aku raih.

"Mari bertaruh. Percaya padaku."

-----------------------------------------------