L U C A S #8
#8
------------------------------------------------------
Inilah suasana sekolah
yang mungkin diharapkan seluruh guru dan siswa. Tenang, damai, tidak ada
keributan. Biang onar yang biasa buat masalah, memecahkan suasana
damai, membuat huru hara dan keramaian sana sini bolos dari jam pertama.
Motor kesayangannya si sacul yang biasa terparkir persis disebelah pos
mangkal pak satpam dan si empu yang duduk di atasnya saat madol, tidak
nampak dimanapun. Tapi kali ini memang suasana kelas dan koridor sepi.
Tidak ada tanda-tanda keributan atau akan terjadi keributan seperti
kemarin. Semua tenang. Mengherankan memang. Tidak biasanya. Semenjak
seorang anak bernama Leonidas Van Lee terdaftar sebagai siswa di sekolah
ini, tidak terlewatkan satu hari sekolah tenang kecuali memang seperti
sekarang, bolos. Sayangnya dia bukanlah tipe yang suka bolos. Meskipun
telat, meskipun dilarang masuk karna telat, tetapi selalu ada alasan
yang bisa membuatnya masuk duduk di bangku kelasnya dan mulai
melancarkan aksi-aksi rusuhnya dengan teman-temannya.
Ara yang kebetulan
berangkat agak siang, was-was kalau saja dia bertemu dengan kakak
kelasnya itu dan membuatnya harus bersitegang jadi tontonan publik,
lagi. Tapi dia hanya melihat Dareen yang memang selalu menemani Lucas
kemana-mana. Dia juga tidak melihat kehadiran orang yang sering kali
membuatnya deg deg an dan bersemu merah.
Sampai istirahat dia
tidak bertemu dengan keduanya. Diketahui bahwa Lucas, L, Hazel dan
Dareen sering menghabiskan waktu istirahatnya di kantin kelas sepuluh
daripada di kantin seangkatannya. Tidak ada yang melarang. Memang siapa
sih adik kelas yang bisa melarang? Bu Endang yang merupakan Badan
Kesiswaan saja dibuat mencak-mencak karna Lucas cs.
"L tidak masuk ya?" Suara seorang gadis dengan gemericik air kran menandakan dia sedang membasuh tangan.
"Memang. Tadi aku lewat
depan kelasnya ingin lihat ice prince, malah tidak ada huh," gadis lain
menimpali dengan helaan nafas bosan.
Ara yang masih di salah
satu kubik toilet, diam saja. Tidak ada maksud untuk menguping tetapi
telinganya entah kenapa jadi begitu sensitif dan memutuskan untuk diam
saja.
"Lucas juga tidak masuk."
Tuh kan bener. Jadi si kembar sama-sama madol.
"Tidak biasanya ya mereka kompakan," gadis lain menanggapi dengan geli sebelum terdengar lagkah kaki mulai menjauh.
Hening.
Kenapa ya mereka bolos?
Ara mengetuk kepalanya sendiri. Apa sih pedulinya? Mau masuk atau tidak bukanlah urusannya.
Saat dia membuka pintu kubik, justru orang yang dicari-cari nongol di depan mata.
"Loh kak?" Kaget. Bingung. Sial. Mampus.
"Sssstt!!" Telunjuknya
buru-buru menekan bibir Ara. "Jangan keras-keras. Bukan apa-apa tapi
bisa jadi kenapa-kenapa kalau tahu aku disini. Berdua lagi."
Mulai deh. Apaan sih.
Ara menampik telunjuk Lucas kasar karena tidak segera menyingkir dari bibirnya. Dibalas dengan tatapan geli.
"Hari ini kau bebas. Aku ada urusan."
Ara mengedipkan matanya.
"Besok ketemu kok. Jangan pasang muka sedih dong. Jadi tidak tega."
Idiiiih. Ara menatap Lucas dengan tatapan tersadis tetapi justru membuat Lucas tertawa bukannya takut.
"Kenapa tertawa? Kalau mau bolos ya bolos aja. Aku justru sangat bersyukur akhirnya kebebasan itu ada. Senang hahaha sangat senang."
"Oke." Lucas mengangguk. Diam. Mengetuk ubin dengan sepatunya selama beberapa saat.
Ara semakin was-was. Dia
lebih suka Lucas yang bar-bar dengan cengiran geli daripada diam-diam
mematikan seperti sekarang. Awalnya pria itu balik badan menghela nafas
panjang sebelum akhirnya berbalik dan membuka kubik toilet tepat
dipunggungi Ara.
"Masuk ya. Biar aman." Halus tapi tahu makna didalamnya.
Menuntun bahu Ara mundur
dan kembali duduk di tempat semula. Tatapan Lucas tidak berpaling dan
tetap meraih kedua bahu Ara. Dengan punggung yang dibungkukan membuat
tubuh menjulangnya merendah, didekatkan wajahnya pada gadis itu. Wajah
yang cemberut dan mata memerah marah serta bibir yang terkatup rapat,
dia tahu Ara pasti sangat membencinya. Dia kembali menghela nafas
panjang.
"Mau sampai kapan terus seperti ini?" Tanyanya dengan suara pelan.
Ara diam saja.
"Aku kurang apa hm? Atau sudah ada orang lain?"
Lagi-lagi Ara diam saja.
Gangguan Lucas setiap hari membuatnya tidak bisa menemukan secuil
apapun lagi hal baik dari pria ini.
Dia menatap Lucas terang-terangan menunjukkan rasa muak dari kedua matanya.
Lucas tersenyum. "Nanti lelah lho."
Kali ini Lucas
benar-benar melunak. Suasana hatinya memburuk dan sebenarnya dia butuh
sandaran dan tempat pelarian, tetapi orang yang dia datangi justru
membencinya dan menanam ranjau yang bisa meledakan dirinya kapan saja.
Tetap tidak ada reaksi
dan kini diperparah dengan Ara yang membuang muka. Ditunggu beberapa
menit sampai Lucas yakin emosinya masih di tempat yang tepat, tangannya
mengusap puncak kepala Ara. Seketika Ara mengelak, tetapi Lucas
mencengkeram kepala itu membuatnya kembali menatapnya.
"Jangan kamu kira, aku
akan diam." Belum selesai. "Kamu terus melawan, itu justru membuat
semuanya menjadi semakin menarik, kan?"
Ara masih diam sampai Lucas mendekatkan wajahnya ke arah telinganya.
"Aku telah jatuh cinta padamu. Kau harus tahu itu."
Lucas menjauhkan tubuhnya dan kembali menegakkan tubuhnya. Mengusap kepala Ara pelan.
"Paham kan?" Nada suaranya kembali normal. Dia menatap Ara sekilas untuk disimpan disalah satu memorinya.
Lucas membuka pintu dan berjalan keluar dengan santai, meninggalkan Ara yang semakin muak dan terus memberinya tatapan benci.
Arght!! Dia menendang pintu dengan kasar.
Tanpa dia sadari Lucas
masih berdiri di luar dan melarang siapapun untuk masuk toilet.
Mendengarkan setiap amarah Ara dan seluruh cacian yang ditujukan
untuknya. Dia diam saja, tersenyum tipis.
Dia menegakkan kepalanya
melihat Aditya yang melihat ke arahnya, agak khawatir. Dasar anak itu.
Dareen memberinya tatapan penuh tanya. Bagaimana dan kenapa? Lucas hanya
mengangkat jempolnya. Cukup.
Dia tahu dia pasti
ditolak, apalagi lawannya adalah L, orang yang dianggap sempurna. Tetapi
dia tidak siap dan tidak akan pernah siap. Bagaimanapun juga, dia harus
mendapatkan Ara. Mencuri perhatian gadis itu, membuat gadis itu terus
mengingatnya, meskipun dalam benci. Dia tidak boleh kalah dengan L. Dan
dia harap L tidak melewati batas, sehingga bom waktu itu tidak
benar-benar menghitung mundur sebelum akhirnya meledak.
Dia tidak pernah ingin
berada diposisi dimana dia harus melawan saudara sendiri. Dimana dia
merebut apa yang L punya atau sebaliknya. Merebut prestasi yang L miliki
atau sebaliknya. Dia ingin mereka berdua berotasi di jalur
masing-masing tanpa harus menyinggung atau bertubrukan. Dia hanya punya L
yang memahaminya dalam diam. Jadi dia takut L lompat garis dan menarik
ujung tangan Ara sedangkan tangan satunya, ada pada genggamannya.
------------------------------------------------------