Malaikat Terbodoh
"Kau baik seperti malaikat."
"Kau baik seperti malaikat."
Aku hanya tersipu setiap kau
memujiku seperti itu. Kau selalu bilang aku terlalu baik, aku terlalu
sabar, bahkan aku tidak punya rasa cemburu. Itu salah. Aku punya amarah,
aku punya rasa kesal, dan aku punya rasa cemburu yang membakar,
menggerogoti sepenggal hatiku lalu membusuk dan sembuh kembali saat kau
nyaman dan tertawa.
Aku sadar akan keterbatasanku yang tidak ada
di dekatmu nembuatku mau tak mau untuk tidak bisa mengatur dan
mengekangmu setiap waktu semau ku.
Kau marah, suara berat dengan
wajah yang dingin selalu marah saat aku terlalu cuek. Tidak sayang, aku
tidak pernah cuek sedikitpun. Aku sangat sangat mencintaimu bahkan aku
tidak pernah nemperdulikan perasaanku sendiri. Aku terlalu mencintaimu
sampai membuatku seperti idiot yang hanya diam dan tersenyum asal kau
bahagia dengan dirimu. Apa aku jahat?
Tetapi kebaikanku yang
untuk menyenangkanmu ternyata menjadi boomerang yang menusuk dan
mencabik seluruh jiwa dan ragaku. Rapuh dan hancur.
Semua berawal
dari masa lalumu yang tiba-tiba datang menyongsong masa depan bersama
ku. Sayang, kau boleh dekat dengan siapapun. Tapi tolong jangan dengan
masa lalumu.
Aku ada disini untuk masa depanmu bukan untuk mengingat kembali masa lalumu.
Maaf, bukan berarti aku tidak mampu menerima masa lalumu yang terlalu
sempurna bagai boneka porselin terpahat apik bersanding dengan pangeran
tampan sepertimu. Tapi aku takut kau tergoda dan melupakan itik buruk
rupa ini yang menunggu kedatanganmu. Jangan buat waktuku untuk
memantaskan diri menjadi sia-sia. Aku mencintaimu lebih dari diriku
sendiri.
Tidak masalah melupakan ulang tahunku untuk keperluan
lain. Tapi jangan jadikan alasan karena ulang tahunnya kau melupakanku.
Aku takut terlupakan, aku takut kau berpaling.
"Kalian menjadi dekat."
"Itu berkatmu dulu yang memintaku untuk berteman lagi dengannya kan?"
"Yeah." Menghela nafas lemah. Ini kebodohan yang aku lakukan.
"Apa kau menyukainya?"
"Apa maksudmu?"
"Jawab saja. Iya atau tidak?"
"Tentu tidak."
Ragu-ragu, aku tersenyum miris. Kau berbohong. Suaramu bergetar. Kau membohongi perasaanmu, kau membohongiku.
Sayang, tahu kah aku mendapat banyak cacian karenamu? Ah bukan. Karena
aku mendapatkanmu. Kau tahu bagaimana hancurnya perasaanku saat kau
memujiku sedangkan orang-orang itu berkata sebaliknya? Meneror ku dengan
berbagai cara. Terganggu. Takut. Bahkan wanita paling berharga dalam
hidupmu mencoba melemparku menjauh, merendahkanku, menamparku dengan
kenyataan bahwa aku tidak akan pernah menjelma menjadi seorang putri
suatu saat nanti.
Aku tidak memiliki tempat berpijak, aku
terombang ambing di antara perasaanmu yang tidak menentu. Dulu saat kau
yakin tidak akan pernah melepaskan tanganku, aku menpercayainya. Sampai
sekarang pun kau tidak melepaskannya. Tetapi satu sisi, kau
menyembunyikan tangan lainnya bertautan dengan sang putri. Tertawa
bersama, saling mengisi, kau mengkhawatirkannya, dan saat itulah aku
mulai tersisih dan terlupakan.
"Kau menyukainya?"
Diam.
"Iya. Aku menyukainya, tapi aku mohon kau jangan pergi. Beri aku waktu."
"Waktu apalagi? Untuk menyiksaku? Untuk menonton percintaan kalian lalu aku dibuang?"
"Tidak! Bukan seperti itu. Aku memcintaimu. Sungguh dan tidak berubah."
"Aku juga mencintaimu. Sungguh dan tidak berubah. Tapi... mau berapa lama lagi?"
"Aku mohon. Jangan pergi."
"Kau tidak sadar, kau menyakiti perasaanku. Kau membagi perasaanmu. Kau
menyakiti dua wanita. Kau... dan bodohnya aku mencintaimu. Apa yang
harus aku lakukan padamu? Katakan!"
"Jangan pergi. Aku mohon.
Tinggulah. Aku akan menganggap dia seperti adikku. Beri aku waktu. Ya,
aku orang yang egois, bahkan sangat egois. Keduanya ingin aku miliki,
keduanya aku pertahankan, keduanya aku sayang dan ku cintai, keduanya, kedua-duanya, aku menyukai keduanya. Bahkan aku tidak mengerti
bagaimana perasaan ku. Aku ini kekasih mu, tetapi aku masih menyukai
masa lalu ku, dan akupun menyukai mu. Kata-kata dan ucapan mu yang
membuat ku menyukai mu. Sikap dan sifat mu yang baik dan sabar yang
membuat ku tertarik pada mu. Untuk sementara ini aku tidak bisa
melepaskan satu diantara kalian. Tapi suatu saat aku pasti bisa
melepaskan salah satu di antara kalian. Hanya perlu waktu. Aku meminta
mu tolong bertahan, tetaplah menjadi kekasih ku. Kau jangan lupakan
setiap 1 tahun perjalanan cinta kita. Aku mencintai mu. Aku sungguh
menyukai mu."
Aku luluh. Lagi. Begitu mudah. Begitu murah. Begitu
menyedihkan. Aku tidak tahu kenapa logikaku mati dan tidak bisa
memikirkan hal lain. Aku tahu kau akan membuangku. Tapi aku bertahan.
Bukankah aku terlalu baik seperti malaikat?
"Bagaimana jika kita menghentikan semuanya?"
Aku diam. Akhirnya waktunya tiba. Kau meludahi ucapanmu sendiri.
"Ada apa lagi?" Tanyaku malas.
"Aku tidak bisa terus membuatmu menunggu."
"Dengar! Aku sudah menunggu sangat lama dan kau baru bilang tidak bisa sekarang? Sudahlah jangan ngaco."
"Kau bisa mencari yang lebih baik dari ku. Kau dapat mencari seseorang yang dapat memperhatikan mu."
"Aku tidak mau."
"Kenapa? Kau pasti bisa melupakanku."
"Tidak. Aku tidak akan melakukannya meskipun aku juga tahu aku bisa."
"Kau harus melakukannya. Kau harus bahagia. Lupakan semua anggap saja kita tidak pernah saling mengenal. Dan tidak pernah ada
hubungan. Kau harus melupakannya. Dan akupun akan berusaha untuk
melupakannya."
Huh! Aku menghela nafas dan melihat layar laptop menampilkan wajah yang sangat aku rindukan tiap harinya.
"Kau ini kenapa? Kau tidak menyukai ku lagi? Akhirnya kau sadar perasaanmu? Katakan ada apa?"
"Aku minta sekali lagi pada mu. Ku mohon, hentikan ini semua, aku ingin
kau bahagia. Lupakan semua memori kita. Lupakan semua hal yang pernah
terjadi pada kita. Lupakan semua nya tentang ku. Akupun akan belajar
melupakan mu. Aku melakukan ini agar kau dapat bebas."
"Huh! Katakan alasannya."
"Kau sulit diterima oleh kami."
Aku neringis sakit. Panah yang dia tancapkan begitu kuat sampai rasanya menyakitkan.
"Terserah kau saja."
"Kau pasti bahagia tanpaku. Selamat tinggal. Jaga dirimu."
Klik! Menghitam.
Aku menggigit bibirku kuat mencoba menahan air mata sialan ini yang
siap nenetes. Berakhir. Semuanya berakhir seperti drama yang
menyedihkan. Setelah menahanku dalam satu kapal yang sama, kini dia
mendorongku jatuh tenggelam ke dasar laut. Sendirian. Terluka.