Mini Story || Mianhae #3 || Omega Lee

2:30 PM 1 Comments A+ a-

"Mianhae"


 ------------------------------------------------------

Berdiri menatap keluar jendela. Malam yang hitam, pekat. Mendung menyembunyikan bintang dan bulan. Hanya tersisa kerlap kerlip bergerak jauh dibawah sana. Berbaris dan menyalip satu sama lain.

Chanyeol mengernyit saat cairan lolos membakar tenggorokannya, sendirian, sepi, kesepian. Selalu seperti ini.

Berhenti menjadi duri dalam kehidupan orang lain. Berhenti jadi pengkhianat dan mengkhianati semua orang.

Berhenti.... brengsek!!

Pyaaar!!

Gelas permata salah satu koleksinya sudah pecah menjadi beberapa kepingan yang tidak mungkin bisa disatukan lagi. Seperti dirinya, sudah hancur. Bahkan sia-sia jika ingin menyusun ulang.

Duduk bersandar ranjang membiarkan air mata yang seharusnya tidak pernah ada,mengalir bagai hujan diluar sana.

Kekuatan dan kebahagiaan yang dia butuhkan sudah hilang. Dia tidak lagi harus berpura-pura menjadi pria baik-baik. Dia tidak lagi harus menjadi pria yang menawan dengan kesetiaan. Tidak lagi setelah semuanya hancur.

Kekasihnya sudah pergi dengan seseorang yang sepantasnya pergi bersamanya, bersanding dan bahagia.
Dia tidak lebih dari seorang pecundang yang kalah.

Huh...

"AKU MENCINTAIMU BODOH!! AKU BISA LEBIH MEMBUATMU BAHAGIA DARIPADA BAJINGAN ITU! KAU MILIKKU! DIA MENGAMBILMU DAN KAU DIAM SAJA! BRENGSEK KAU HYO JUNG! ARGHT!!"

Chanyeol menutup matanya membiarkan air mata merembes dari kelopak matanya, mengalir terus mengalir.

--------------------------------------------

"Paman.."

Chanyeol berbalik mendengar suara imut memanggilnya dan segera jongkok mensejajarkan tubuh mereka agar bisa merangkul malaikat kecil seperti reinkarnasi si bunda yang menatapnya masih dengan tatapan sayang.

Banyak yang bilang cinta akan hilang seiring berjalannya waktu. Tetapi entah waktu memang kejam atau egois. Cinta yang terpendam selama bertahun-tahun bahkan tidak berkurang sedikitpun. Masih sama dan tidak berubah.

"Aku merindukanmu."

Tangan mungil merangkul melingkari leher Chanyeol sedanghan Chanyeol mengusap punggung kecil dibalut dress ala ala cinderella.

"Selamat ulang tahun, Sayang."

~The End~


Mini Story || Mianhae #2 || Omega Lee

7:30 AM 0 Comments A+ a-

"Affairs"


 ------------------------------------------------------

"Hyo jung~ah kau didalam? Ada tamu ya?"

Senyum yang hangat dan tidak pernah pudar. Tangan menggenggam sebuket mawar merah cukup besar dengan sekotak kue berjalan menghampiri kami, tanpa curiga sedikitpun.

Dia adalah...

"Ah.. ada Chanyeol rupanya. Lama tak jumpa, bro."

Chanyeol kikuk dalam diamnya lalu tersenyum dan memeluk teman lamanya.

"Lama tak jumpa, Kai."

"Kau selalu lebih dulu dariku padahal aku suaminya. Haha kau memang sahabat yang baik. Bukan begitu, sayang?"

Aku tersenyum miris, pasrah dalam pelukan Kai dan diam saat dia menciumku, didepan Chanyeol.

Hambar dan sakit.

Aku bisa melihat Chanyeol memalingkan wajah sebisanya,mencoba menghindari apa yang ada di depannya.
Mianhae. Jeongmal mianhae.

"Ehm.." Chanyeol berdehem untuk menghilangkan suasana canggung seperti ini dan berharap Kai untuk tidak menciumiku.

"Bisa lakukan nanti saat aku tidak disini? Aku merasa... agak.. aneh."

Kai tertawa. "Maafkan aku, teman. Aku terlalu bahagia. Dan kau tahu, aku harap Hyojung belum memberitahumu. Bahwa sebenarnya dia..."

"Oppa.." aku memotong cepat sebelum Kai semakin nenghancurkan perasaan Chanyeol. Cukup sudah untuk pertunjukkan tadi yang sudah membakar Chanyeol menjadi arang.

Aku tidak ingin melihat Chanyeol semakin hancur menjadi serpihan debu dan terbang tertiup angin.

"Ada apa, Kai? Katakan saja. Aku penasaran."

Dia mengatakannya sambil menatap tajam padaku.

Aku mohon oppa. Jangan lakukan itu. Aku mohon. Aku tidak sanggup melihatnya.

"Dia hamil. Kau akan dapat keponakan. Kau senangkan? Haha.."

Tidak. Aku mohon. Tidak.

Chanyeol termangu dalam posisinya, tidak bereaksi apapun. Hanya menatapku. Terus menatapku. Bahkan saat Kai sangat gembira dan menciumi rambutku dan mengusap perutku. Dia juga tidak bereaksi apapun.
Mianhae.

"Aku turut senang. Selamat ya."

Kaku.

"Aku tahu kau pasti senang."

Bodoh. Tolol.

"Aku harus pergi. Kau tahu maksudku kan.."

Aku meneguk ludahku seperti menelan pil pahit. Hancur sudah semuanya.

"Kau memang perhatian. Terima kasih paman Chanyeol."

Chanyeol membalas dengan senyum miris sebelum meraih coat dan berjalan keluar. Tanpa melihatku.

Mengacuhkan ku.

Tbc

Mini Story || Mianhae #1 || Omega Lee

5:00 PM 0 Comments A+ a-

"I Love You"


 ------------------------------------------------------

Happy Birthday, Bae!

Door!

Potongan demi potongan kertas warna warni jatuh mengguyurku tiba-tiba begitu aku melangkah masuk apartemen ku. Balon dimana-mana. Menghiasi atap, menempel di dinding dan berserakan di lantai.

Aku merengut. Tahu siapa yang telah membuat kekacauan ini di tempatku. Tidak lain, dia adalah Chanyeol.

Pria yang baru keluar dari tempat persembunyiannya dengan kue berhias lilin angka ditangannya, berjalan ke arahku.

"Saengil chukkae hamnida... Saengil chukkae hamnida.. Saranghaneun uri Hyo Jung. Saengil chukkae hamnida."

"Oppa.."

"Make a wish," bisiknya lembut sebelum mencium keningku.

Aku patuh dan menutup mataku. Menggumamkan doa yang sama, setiap hari, setiap saat. Bahwa aku dan dia akan selalu bersatu dan bersama untuk selamanya. Tidak ada hal yang membahagiakan lainnya tanpa dia disisiku. Dia sebuah alasan ku untuk tertawa, dia alasan ku untuk bahagia. Dia sebuah alasan yang kuat bahwa inilah dunia dengan seluruh ketidakadilan tapi aku bisa mengatasinya.

Aku membuka mata dengan dia yang masih tersenyum menungguku lalu meniup lilin sebelum leleh mengotori kue. Ini bukan apa-apa, tetapi aku sangat tahu betapa besar pengorbanannya dan kerja kerasnya untuk mendapatkan ini semua.

"Selamat ulang tahun, Jung~ah. Teruslah bahagia dan tertawa. Kau punya hak untuk mendapatkannya. Aku mencintaimu. Selalu mencintaimu. Terima kasih sudah lahir dan tumbuh dengan cantik."

Aku memeluknya tiba-tiba bahkan sebelum dia menaruh kue itu sehingga membuat tangannya oleng sebentar, tapi bisa cepat diatasi.

"Gomawo... jeongmal gomawoyo."

Aku tidak bisa melihat ekaspresinya sekarang. Tetapi aku bisa melihat ciuman kecil di ujung kepalaku bertubi-tubi.

Saranghae Oppa.

Saranghae.

Menutup mata dengan hembusan nafas yang semakin mendekat.

Saranghae Oppa.

Ting.. tong..

Aku seketika membuka mataku, sama sama menoleh kearah pintu dengan gerakan pintu yang terbuka.
Tidak ada yang tahu password apartemen ku kecuali Chanyeol Oppa dan satu orang.. dan itu tidak mungkin dia.

TBC

WOLF #5

11:25 PM 0 Comments A+ a-

#5



 ------------------------------------------------------

"Hai ada apa?"

Kai tersenyum kembali dan mengusap seragamnya yang kotor akibat pergulatan yang tidak bisa aku lihat tadi. Masih dengan merangkul dan tersenyum seakan tidak terjadi sesuatu, dan dengan Luhan yang terus ngedumel tidak jelas dibelakang.

"Berapa lama kalian menungguku?" Tanyaku mengganti topik karena Kai memang benar-benar tidak ingin membahas apa yang baru saja terjadi.

"Cukup lama sampai aku menyadari bahwa sekolahan ini cukup luas dan bodohnya aku lupa bahwa kau kutu buku."

"Kalian membuang-buang waktu."

"Itu benar dan tidak bisa ku bantah." Luhan berjalan terlebih dulu. Tidak ada yang menuju ke arah mobil Kris yang masih terparkir. Semua keluar sekolahan, melewati gerbang dengan berjalan kaki. Untukku ini adalah hal biasa, tetapi aku sungguh tidak tahu dengan dua pria yang membuat siapapun wanita jatuh pingsan karena pesona mereka.

Kami sampai di sebuah halte dengan Luhan yang duduk disebelahku, melipat satu kakinya diatas kaki yang lain dan Kai tetap berdiri tidak jauh dariku, menempel seperti lem. Tidak bisa kupungkiri, aku masih memikirkan Kris. Bagaimana orang itu sekarang? Bagaimana dia sekarang? Apa yang terjadi sekarang? Apa sesuatu hal buruk sedang terjadi padanya sekarang?

Aku terus berfikir sampai tidak menyadari hanya tersisa aku dan Luhan di halte dengan Kai berdiri di pintu bus menatap ke arahku.

"Apa sudah siap pergi? Supir ini sudah sangat cerewet." Kai mendesah pelan dengan gaya kekanak-kanakkan yang menggoda.

Luhan berdiri, begitupun aku. Kami masuk bus dengan banyak sekali tatapan. Oh ya hampir separuh isinya adalah murid satu sekolahanku. Tidak peduli mau junior atau seangkatan, jelasnya kami memakai seragam yang sama.

Untuk beberapa aku cukup terkenal terlihat dari tatapan muak yang siap mengulitiku kapan saja. Dan lainnya menatap Luhan dan Kai dengan rahang terjatuh dan liur berceceran. Iuh... menjijikkan.

Aku duduk dengan Luhan dibelakangku hasil dari merebut paksa pemilik sebelumnya, dan Kai yah dia sudah seperti lem. Berdiri menggantungkan tangannya memegangi tiang penyangga dengan tangan satunya meraih punggung kursiku. Menjebak dan melindungi. Dia semakin posesif.

Seharusnya aku mulai terbiasa sekarang dengan bisik-bisik tentang mereka yang selalu denganku, teman-temanku, pria nakalku. Tetapi aku tidak bisa. Entah menguping atau tersenyum, sedangkan seseorang yang menjadi topik pembicaraan malah tidak bereaksi apapun. Saat aku mendongak, aku melihat mata berkaca-kaca seakan memakai kontak lensa milik Kai sedang menatap keluar jendela. Memperhatikan jalan atau pepohonan atau mobil atau apapun entahlah. Atau mungkin dia sedang merenung. Tidak ada yang tahu. Jelasnya, dia terdiam dengan tangan yang mencengkeram kuat terasa dibalik punggungku.

"Kai, ada apa?" Sesaat dia menoleh dan menatapku.

"Apanya?"

Aku juga bisa melihat Luhan ikut menoleh.

"Tidak ada. Lupakan saja." Saat setelah bus berhenti, tempat dimana aku harus turun.

Aku bisa melihat mereka juga ikut turun dan membuntutiku, tapi aku tahan segera.

"Kalian bisa pulang tanpa mengantarku sampai depan rumah."

Mereka tampak keberatan dengan alis-alis terangkat menandakan protes.

"Tidak bisa. Kami akan mengantarmu tepat kau masuk rumah dengan selamat." Kai yang keras kepala.

"Kau tidak dengar perkataan Kris?" Kini Luhan si jenius yang ingat tentang semua hal.

"Tinggal 100 meter dan tidak akan terjadi apapun. Ini rumahku, wilayahku. Kalian tahu itu."

Kai siap protes lagi dan ditahan Luhan. "Baiklah kami pergi. Sampai jumpa esok hari, Hana."

Aku ikut melambai sampai mereka berdua berbelok dan menghilang.

Memang tidak terjadi apapun. Bahkan aku bersumpah para pembully ku bahkan tidak tahu atau tidak mau tahu tentang kediamanku. Memang untuk apa juga mereka tahu? Membullyku di rumah? Oh ayolah. Bully terdengar seperti sebuah pekerjaan jika mereka sampai melakukannya.

Aku membuka pintu sampai terdengar bunyi menyakiti telinga. Dasar rumah tua. Harusnya aku pindah saja.

"Ya ampun. Apa yang kau lakukan disini, demi Tuhan?" Aku hampir saja menjatuhkan map-map ku saat melihat si tubuh tinggi kurus dengan wajah yang lebih muda dariku atau mungkin dia baby faces? Oh entahlah. Siapa orang asing yang berani masuk ke rumahku?

"Kau! Siapa kau?" Teriakku dengan payung siap menghunus dan bersentuhan dengan hidung mancungnya.

Dia terkejut seketika apalagi dengan payung yang siap membengkokkan tulang hidung yang menawan.

"Wow.. Wow... ayolah. Apa kau zorro?" Ujarnya dengan kedua tangan terangkat ke udara.

"Kau... siapa kau? Jangan sampai gerakan payungku sebagai pertanyaan ketigaku."

Telunjuk lentiknya menurunkan ujung payungku sambil tersenyum.

"Aku tidak yakin jika kau alasan dia menolak untuk bertunangan dengan gadis yang bahkan sebelumnya tidak dia perdulikan."

"Hah?" Aku tidak bisa tidak untuk melongo dengan apa yang baru saja aku dengar.

Apa orang gila yang menerobos masuk rumahku? Karena aku tahu, pencuri tidak akan sudi bahkan sudah jelas rumah reot seperti ini tidak mungkin memiliki barang berharga. Tapi juga tidak mungkin orang gila berpakaian sebagus bahkan lebih bagus dari pakaian terbaikku.

"Kau siapa?"

Dia memutar bola matanya bosan.

"Apa kau tidak bisa melihat bahwa wajahku mirip dengan seseorang? Koreksi tentu aku lebih tampan."

Tebak-tebakkan? Tentu seharusnya ini hal mudah karena aku tidak memiliki banyak orang untuk aku kenal dan hapal wajahnya. Tapi wajah seperti dia ini. Hanya satu yang memiliki.. siapa lagi kalau bukan...

"Taeyong.. aku sudah curiga kau akan berkeliaran disini."

Aku berbalik dan Luhan sudah ada di depan pintu menatap tajam seseorang dibelakang punggungku, dan memelukku sekarang.

"Hyung.. bagaimana bisa kau mengencani wanita yang bahkan tingginya tidak lebih dari daguku?"

Sialan! Tapi apa katanya tadi? Hyung?

"Tunggu dulu!" Aku loncat dan lepas dari pelukan si bocah tengik yang tidak tahu sopan santun. "Kalian saudara?"

"Apa wajah kami tidak mirip?" Taeyong atau Taeyang atau siapapun namanya itu mengedipkan matanya dua kali ke arahku.
 
"Luhan, kau hutang penjelasan padaku."

Kini si imut hanya menghela nafas berat, dengan erangan tertahan melihat apa yang sedang terjadi.

"Dia adikku." Luhan mengatakannya saat kami sedang duduk berhadapan di ruang tamu, tepat saat Taeyong berteriak dan mengorek isi kulkasku yang memang tidak ada isinya.

"Apa kau sungguh tidak memiliki sesuatu yang bisa aku makan?"

"Tidak ada!" Balas teriakku. "Dan cepatlah kau keluar dari dapur ku sekarang dasar kucing garong."

Bagus. Dia penurut. Entah karena aku atau pengaruh kakaknya disini. Tapi melihat dia sudah berhasil menyobek bungkus keripik kentang dan menikmatinya sambil berjalan tentu membuatku ingin sekali melemparkan sandal kena kepalanya.

Bagaimana bisa dia berkata tidak ada makanan yang bisa dia makan bahkan saat dia berhasil mencuri cemilanku.

"Luhan, bisa kau membawa adikmu ini segera keluar dari rumahku? Aku mohon." Kataku dengan wajah semelas mungkin. Setidaknya si bocah tengik ini segera menyingkir.

"Taeyong, ayo pulang." Luhan berdiri dan begitupun Taeyong.

"Oh tentu. Aku juga tidak suka tempat ini. Bahkan dia tidak punya makanan enak."

"Hei! Lalu yang ditanganmu itu apa sekarang? Sampah?" Ujarku tidak terima.

"Ya. Dan aku baru saja memakan sampah. Kau harus bertanggung jawab jika aku masuk rumah sakit karena keracunan."

Aku mendesis. Bocah gila ini. Ya Tuhan. Luhan bagaimana bisa memiliki saudara segila dia.

Tapi parahnya Luhan hanya diam saja dan seakan menikmati apa yang baru saja dia lihat.

Taeyong keluar rumah bahkan tanpa berpamitan, meminta maaf karena sudah menerobos masuk dan terima kasih atas snack nya.

"Hyung, aku tidak setuju kau menikahinya."

Bocah gila. Siapa juga yang akan menikah dengan Luhan. Aku justru sangat sangat sangat tidak sudi punya adik ipar sepertimu.

Ternyata ada Kai diluar. Mereka tampak akrab. Bahkan aku bisa lihat Kai berhigh five dengan Taeyong sebelum akhirnya masuk mobil.

Yah mereka orang kaya. Kemana-mana tanpa harus mengotori kakinya. Diantar jemput dan pergi kemanapun dengan satu perintah.

Kai tersenyum ke arahku dan aku membalasnya.

Sekarang ini lapisan kehidupan benar-benar telihat nyata. Siapa aku dan siapa mereka.

-----------------------------------------------

Luhan keluar dari mainannya, si hitam legam. Mobil yang dinaiki kemarin saat keluar dari rumahku. Kai selalu membukakan pintu untukku. Aku tidak tahu apa dia takut aku mengotori mainan mereka atau membuat lecet atau mungkin karena dia selalu melakukan itu, cara memikat hati wanita.

"Kau siap?"

"Tentu siap? Bagaimana dengan wanita kita ini? Siap?"

Aku terdiam sebentar. "Kenapa bertanya? Tentu sangat siap."

Kami berjalan bersama. Yah, ini yang aku tidak suka. Orang-orang yang awalnya takut dengan wolf jadi terkesan menggampangkan gara-gara aku.

"Kai, kenapa kau selalu bersama dengan kutu buku?"

"Oh kau..." Kai memutar matanya geli. "Aku tidak tahu namamu, tapi aku sangat tahu kau tahu namanya. Jadi panggil dia dengan sopan."

"Kenapa harus?" Balas Kevin.

Tapi Kai mengacuhkannya bahkan tidak repot-repot untuk mendengarkan dan lebih memilih mengajakku berbincang tentang apapun. Aku tidak bisa menyembunyikan tawaku.

"Permisi, Kim Jongin. Aku sedang berbicara denganmu saat ini."

Kai menoleh geli. "Hana, kau mengenalnya?"

"Dia Kevin." Balasku tak kalah geli.

"Tapi Kevin, aku tidak suka berbicara dengan orang yang tidak bisa bersikap sopan dengan temanku. Jadi berhenti memancing perhatianku."

Sialan!

Beruntung hari ini guru tidak bisa masuk dengan meninggalkan banyak sekali tugas yang tentu sudah aku selesaikan kemarin. Disaat orang lain sibuk mengerjakan ataupun menyalin, aku sudah sibuk dengan tugas selanjutnya. Tetapi kali ini aku hanya memperhatikan Kai yang bahkan tidak menyentuh tugasnya.

"Apa kau mau menyalin punyaku?" Tawarku.

"Tidak perlu. Aku tidak pernah mengerjakan tugas sebelumnya." Katanya santai.

"Apa kau gila? Kau bisa dapat catatan hitam dan berakhir dengan skors dan bisa dikeluarkan."

"Itu tidak akan terjadi." Kai membalas seakan sudah terbiasa dengan apapun yang terjadi.

"Tapi.. Kai. Kau tidak bisa diskors ataupun dikeluarkan."

"Kenapa?"

Aku terdiam. Kenapa? 

"Kau takut? Kau takut dibully? Kau takut sendirian? Kau takut. Kau terkesan..."

"Benar. Aku memanfaatkan kalian. Maafkan aku."

"Kita teman kan?"

Aku menunduk, tidak berani menatapnya. Salah dan takut. Mereka menganggap ku teman tapi aku memanfaatkan mereka.

"Hai.. angkat dagumu." Kai menarik daguku agar menatap matanya.

"Jangan takut. Aku akan menjagamu dengan sepenuhnya. Bahkan tanpa Kris atau Luhan, aku sanggup menjagamu sendiri. Berani bertaruh?"

Lidahku kelu. Mata berkaca-kaca milik Kai menghipnotisku untuk semakin mendalami sedalam apa yang bisa aku raih.

"Mari bertaruh. Percaya padaku."

-----------------------------------------------

WOLF #4

1:18 AM 0 Comments A+ a-

#4



 ------------------------------------------------------

Aku menyadari satu hal setelah satu pekan kami bersama. Kris. Hanya pria itu yang paling dekat dan protektif padaku, tapi aku bahkan tidak mengenalnya. Dia sangat tertutup dan tidak banyak bicara. Dia melakukan semuanya dengan tindakan tanpa bicara. Dan ucapan Luhan beberapa waktu lalu yang nengatakan bahwa Kris menyukaiku justru membuatku terus mengamatinya saat bersama. Awalnya Kris tampak biasa saja dan tidak peduli, tetapi lama-lama dia mulai kesal dan menatap tajam kearahku.


Duduk di tribun sendirian menatap mereka yang sedang memantulkan si bundar. Yeah tidak ada yang berani mendekat bahkan untuk mencampuriku ataupun menyapa. Karena secepat kilat, mereka akan mendorong siapapun itu menjauh dariku.


Akan tetapi aku masih tidak yakin apa mereka benar-benar bisa mendorong siapapun dengan posisi aku yang jauh dari mereka, duduk dan tersembunyi.


Aku tidak bersembunyi dari orang-orang yang dulu membullyku, aku tidak takut lagi pada mereka bahkan saat mereka menghajarku atau membuatku jatuh. Tetapi tiga orang itu, wolf. Setelah kalimat Luhan yang konyol dan Kris yang selalu menangkap basah saat aku yang sedang memandanginya, membuatku takut dan khawatir.


Aku menghela nafas berat. Sebenarnya apa yang aku lakukan sekarang? Kenapa aku seperti ini? Luhan hanya menggodaku. Dia pembohong yang baik.


Setelah merapikan beberapa map, aku segera berdiri dan melangkah keluar dengan tidak terlihat oleh mereka. Menyusuri lorong koridor, mengabaikan beberapa orang menuju loker ku.


Jeritan tertahan berhasil lolos sebelum ku tutup mulutku saat mendapat tarikan mendadak dari arah belakang kerah bajuku.


Kris.


"Hai Hana." Kai menyapa dengan riang.


"Aku rasa seharian ini kita belum bertemu." Kini Luhan tersenyum penuh arti.


Aku segera menarik kerahku yang masih dicengkeram Kris dengan mudah.


"Aku sibuk." Belaku pura-pura mengabaikan mereka.


"Yeah tentu, sibuk memandangi dari jauh dan menghilang tiba-tiba."


Aku memutar bola mataku. "Aku tidak melakukan itu. Untuk apa melakukannya?"


"Yeah untuk apa melakukannya? Aku juga tidak tahu. Karena bukan aku yang melakukannya. Mungkin kau tahu?"


Kris.


"Ya. Aku memang menghindari kalian,"gumamku pelan.


"Kenapa?" Kai menimpali dengan cepat.


"Apa karena ucapanku waktu itu?" Kini Luhan memperparah keadaan dengan membahasnya lagi.


Luhan bodoh dengan senyum penuh artinya.


"Memang apa yang kau katakan padanya? Kau mengancamnya?"


Oh Kai jangan membahasnya.


"Tidak. Aku hanya bilang kalau ternyata.... bft...bf.."


Tanganku sudah membekap mulut cerewet si imut sialan ini. Bisa-bisanya dia membeberkan kebohongannya bahkan di depan Kris. Sialan.


"Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan?"


"Tidak ada." Kataku cepat.


Mereka bertiga menatapku tajam.


"Baiklah. Bisa kita lupakan ini? Meskipun aku berusaha menghindari kalian tapi hasilnya tetap kalian pasti akan menemukanku."


"Lalu kenapa mencoba jika sudah tahu?"


"Aku takut menyusahkan kalian. Dan kita berbeda. Aku dan kalian semua. Kalian memiliki semua yang kalian mau. Kalian punya popularitas dan kekuasaan. Kalian.. dan aku. Aku hanya penghambat. Popularitas kalian akan menurun. Kekuasaan kalian kalian akan dipandang sebelah mata karena aku. Dan aku bukan boneka yang kalian jaga."


Kris mendengus. "Itu hal terbodoh yang pernah aku dengar."


"Tidak!" Bantahku cepat. "Kalian tidak mengerti."


"Kau yang tidak mengerti, Hana!" Kris membentak dengan keras sehingga mampu membuat siapapun yang diam-diam mencuri dengar sejak tadi kini sudah mengamati dengan penasaran.


"Boneka? Apa pria seperti kami bermain boneka?" Kini Kai yang bicara.


Oh aku mohon. Aku tidak bermaksud melukai harga diri mereka.


"Oh maafkan aku. Tolong jangan masukkan ke dalam hati," sesalku.


"Hana, tentu aku sudah memikirkannya semua ini sebelum kami ambil langkah." Luhan menatapku datar sebelun menunduk untuk benar-benar melihatku.


"Apa yang kau takutkan bukanlah hal yang penting bagi kami. Semua itu sudah melekat dalam diri kami. Kau tahu kan, tidak ada yang menolak Wolf."


"Sebenarnya...." aku menghembuskan nafas, bimbang antara mengatakannya atau tidak. Kris sudah membuang wajahnya tidak lagi menatapku dan Kai lebih memilih menatap lantai marmer putih gading atau sepatunya, entahlah.


"Katakanlah!" Luhan tersenyum.


"Aku tidak pernah memiliki teman sebelumnya. Aku tidak tahu apa yang akan kita lakukan nanti sebagai teman. Apa itu jalan-jalan bersama atau apapun, aku tidak tahu."


Sulit dari dugaanku Luhan tertawa.


"Hei.. Hana. Apa kau fikir kita terlahir di dunia ini langsung memiliki teman? Itulah kenapa ada adaptasi. Kau harus terjun dan merasakannya dan biarkan itu berkembang secara alamiah. Dan maafkan si tempramental Kris dan juga si sensitif Kai."


Aku mengangguk. "Maafkan aku juga."


Luhan mengacak rambutku gemas. "Kau tahu, awalnya kami juga bukan teman. Kami bertemu dan terpaksa menjadi teman. Kami saling berbenturan dan terluka."


Aku mengerutkan kening, kurang mengerti dengan perkataan Luhan.


"Lupakan saja!"


Kai melingkarkan tangannya ke leherku. Aku bersyukur dia sudah bersikap biasa dan kembali menjadi sosok menawan berjalan menggiringku. Luhan berlari mensejajarkan tubuhnya disisi lain sebelahku. Menunduk dan berbisik, "Kau tahu, Hana. Kris begitu labil saat kau terus menghindari kami. Dan aku semakin yakin kalau dia jatuh cinta padamu."


Berhenti kembali menjadi menyebalkan, Xiu Luhan!


Kai yang mendengarnya hanya mengangkat ujung bibirnya dengan aku yang terus berusaha menghajar si sialan berubah manis menjadi menyebalkan.


Aku melihat kebelakang, Kris mengikuti langkah kami dengan pelan. Wajahnya selalu datar dan membosankan. Berlari kearahnya dan merangkul lengannya, menariknya agar berjalan lebih cepat.


"Hei.. sopir kita ketinggalan."


Dia tersenyum sedikit, hanya beberapa detik. Aku senang melihatnya.


 ------------------------------------------------------


Perpustakaan.


Tempat ternyaman di muka bumi ini. Bahkan mungkin bisa jadi tempat ternyaman dan paling nyaman daripada rumah reotku atau kamar sumpek ku. Tempat dengan buku-buku yang sudah seperti makanan yang selalu membuatku kelaparan ingin segera menyantapnya semua.


Duduk fokus dengan bacaanku, bolpoin dan note kecil yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Mereka sudah seperti sendok dan garpu, alat yang aku pakai untuk menyantap makanan lezat ini sebelum di proses oleh otakku.


Aku setuju saat orang bilang bahwa waktu akan berlalu dengan cepat saat kita melakukan kegiatan yang kita sukai. Dan waktu tiga atau empat jam bukanlah waktu yang lama bagi mereka yang bilang perpustakaan adalah tempat yang membosankan. Bahkan jika diperbolehkan, aku ingin tinggal saja disini dengan buku-buku untuk ku baca. Ups! Lebih tepatnya untuk publik, tapi aku paling rajin diantara anak-anak rajin. Jadi inilah hidupku. Si kutu buku.


"Hallo Hana."


Aku hampir saja mencoret catatan ku dan menjadi hal yang tak berguna saat serangan shock dari suara si menawan Kai duduk dengan seluruh kakinya diatas kursi menopang dagu dan tersenyum tanpa merasa bersalah sudah mengacau kesenanganku.


Oh tentu. Dia tidak sendiri. Dengan dua lainnya. Kris yang duduk sambil mengetuk-ngetuk meja bosan. Kaki panjangnya harus dilipat sedemikian rupa agar bisa masuk dan bersembunyi dibalik meja atau bisa melukai siapapun yang kebetulan lewat. Yeah meskipun kemungkinan kecil akan ada seseorang yang melewati mereka. Luhan berdiri bersandar rak dengan buku ditangan, fokus dan tidak memperdulikan ku. Dia si cerdas yang terkadang menyebalkan. Aku bisa melihatnya sangat mudah membalikkan lembar buku dengan jempolnya. Benar-benar sosok yang cerdas.


"Hana!" Kai menyapaku lagi agar kembali fokus ke arahnya.


"Apa yang kalian lakukan disini?"


"Kami hanya ingin melihat bagaimana Hana hidup di habitatnya. Benar-benar surgawi. Bahkan aku bisa melihat kau menggelengkan kepalamu seakan sedang mendengarkan lagu. Tapi aku berani bertaruh mobil Kris, bahwa kau sedang tidak mendengarkan lagu."


Kris berdecak kesal mendengar celotehan Kai.


"Wah sayangnya kau beruntung. Aku sedang tidak mendengarkan lagu. Tapi aku membuat lagu sendiri di telinga ku." Aku terkikik geli.


"Ya aku tahu. Kau jenius yang menyenangkan." Lagi Kai tersenyum. Dia orang yang paling sering tersenyum saat denganku.


"Dan maaf Hana. Bisa kau segera keluar dari tempat ini? Ayo bermain dan makan atau apapun. Aku bisa tidur jika lama-lama disini karena begitu hening."


Aku mengangguk. Merapikan buku dan map ku, mengembalikan buku-buku tadi pada tempatnya semula. Dan saat aku sudah siap, mereka sudah berdiri menunggu ku dengan Kai mengeluarkan sekotak susu dari saku menempelkannya pada pipi ku.


"Aku tahu kau belum makan atau minum apapun sejak tiga jam tadi."


Aku meraihnya dan menyobek di ujung. Sudah tidak dingin. Dan mungkin mereka sudah duduk sejak tiga jam tadi tapi aku tidak menyadarinya.


"Kau ingin kita kemana?" Kris bertanya. Oh akhirnya aku mendengar suaranya juga. Sejak tadi dia hanya diam. Yeah. Dia memang selalu diam. Tetapi entah kenapa sekarang dia jauh lebih pendiam. Apa sedang ada masalah?


"Pulang?"


"Oke." Ucap mereka kompak.


Parkiran sudah sepi. Tinggal beberapa belokan lagi kita akan bertemu dengan si kuda jingkrak merah menyala.


Aku menelan teriakanku saat Kris buru-buru mundur membuat kotak susu yang baru berkurang setengah mengotori kemeja kotak-kotakku sebelum akhirnya jatuh ke tanah.


Apa ini sedang shooting film action? Kenapa banyak sekali pria berpakaian hitam mengepung dan memutari kami. Aku terdiam ditengah diantara mereka yang berusaha melindungiku.


Sebenarnya apa ini?


"Kai.."


"Kita bermain dulu ya, Hana? Tutup matamu jika takut."


Sudah tidak ada pilihan lain. Aku menutup mataku, sungguh tidak tahu apa yang sedang terjadi. Entah aku terlalu bodoh atau terlalu mempercayai mereka. Tidak ada pilihan lain.


Tubuhku melayang dan terlempar kesana kemari dengan berakhir ditangkap dengan  mulus oleh yang lainnya. Aku bisa mendengar setiap bisikkan memintaku tenang saat aku jatuh kedalam pelukan mereka.


Apa sudah berakhir?


Aku membuka mata dengan Kris yang berdiri di depan ku. Kai dan Luhan sudah tumbang. Lebih tepatnya tidak bisa bergerak lagi. Tersisa Kris dan aku.


"Apa yang kalian inginkan?"


Aku meraba seragam Kris mencari pegangan sampai berakhir dengan genggaman erat.


"Kami tidak akan melakukan hal buruk jika Tuan menurut sejak awal."


Ada apa?


Kris berbalik dan menatapku. Benar-benar menatapku dan menggenggan tanganku.


"Jangan pergi kemanapun sendirian. Selalu bersama Kai dan Luhan. Mengerti?"


Aku mengangguk begitu saja seakan terhipnotis.


Kris melepas genggaman tangannya dan pergi diikuti mereka semua. Kai dan Luhan sudah terbebas.


"Inilah kenapa aku tidak menyetujuinya dulu." Celetuk Luhan tiba-tiba.


"Ada apa?"


Tidak ada yang menjawab.


"Kita pulang sekarang." Kai menarikku begitu saja tidak berkenan untuk menjawab pertanyaanku.


--------------------------------------------------