WOLF #4

1:18 AM 0 Comments A+ a-

#4



 ------------------------------------------------------

Aku menyadari satu hal setelah satu pekan kami bersama. Kris. Hanya pria itu yang paling dekat dan protektif padaku, tapi aku bahkan tidak mengenalnya. Dia sangat tertutup dan tidak banyak bicara. Dia melakukan semuanya dengan tindakan tanpa bicara. Dan ucapan Luhan beberapa waktu lalu yang nengatakan bahwa Kris menyukaiku justru membuatku terus mengamatinya saat bersama. Awalnya Kris tampak biasa saja dan tidak peduli, tetapi lama-lama dia mulai kesal dan menatap tajam kearahku.


Duduk di tribun sendirian menatap mereka yang sedang memantulkan si bundar. Yeah tidak ada yang berani mendekat bahkan untuk mencampuriku ataupun menyapa. Karena secepat kilat, mereka akan mendorong siapapun itu menjauh dariku.


Akan tetapi aku masih tidak yakin apa mereka benar-benar bisa mendorong siapapun dengan posisi aku yang jauh dari mereka, duduk dan tersembunyi.


Aku tidak bersembunyi dari orang-orang yang dulu membullyku, aku tidak takut lagi pada mereka bahkan saat mereka menghajarku atau membuatku jatuh. Tetapi tiga orang itu, wolf. Setelah kalimat Luhan yang konyol dan Kris yang selalu menangkap basah saat aku yang sedang memandanginya, membuatku takut dan khawatir.


Aku menghela nafas berat. Sebenarnya apa yang aku lakukan sekarang? Kenapa aku seperti ini? Luhan hanya menggodaku. Dia pembohong yang baik.


Setelah merapikan beberapa map, aku segera berdiri dan melangkah keluar dengan tidak terlihat oleh mereka. Menyusuri lorong koridor, mengabaikan beberapa orang menuju loker ku.


Jeritan tertahan berhasil lolos sebelum ku tutup mulutku saat mendapat tarikan mendadak dari arah belakang kerah bajuku.


Kris.


"Hai Hana." Kai menyapa dengan riang.


"Aku rasa seharian ini kita belum bertemu." Kini Luhan tersenyum penuh arti.


Aku segera menarik kerahku yang masih dicengkeram Kris dengan mudah.


"Aku sibuk." Belaku pura-pura mengabaikan mereka.


"Yeah tentu, sibuk memandangi dari jauh dan menghilang tiba-tiba."


Aku memutar bola mataku. "Aku tidak melakukan itu. Untuk apa melakukannya?"


"Yeah untuk apa melakukannya? Aku juga tidak tahu. Karena bukan aku yang melakukannya. Mungkin kau tahu?"


Kris.


"Ya. Aku memang menghindari kalian,"gumamku pelan.


"Kenapa?" Kai menimpali dengan cepat.


"Apa karena ucapanku waktu itu?" Kini Luhan memperparah keadaan dengan membahasnya lagi.


Luhan bodoh dengan senyum penuh artinya.


"Memang apa yang kau katakan padanya? Kau mengancamnya?"


Oh Kai jangan membahasnya.


"Tidak. Aku hanya bilang kalau ternyata.... bft...bf.."


Tanganku sudah membekap mulut cerewet si imut sialan ini. Bisa-bisanya dia membeberkan kebohongannya bahkan di depan Kris. Sialan.


"Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan?"


"Tidak ada." Kataku cepat.


Mereka bertiga menatapku tajam.


"Baiklah. Bisa kita lupakan ini? Meskipun aku berusaha menghindari kalian tapi hasilnya tetap kalian pasti akan menemukanku."


"Lalu kenapa mencoba jika sudah tahu?"


"Aku takut menyusahkan kalian. Dan kita berbeda. Aku dan kalian semua. Kalian memiliki semua yang kalian mau. Kalian punya popularitas dan kekuasaan. Kalian.. dan aku. Aku hanya penghambat. Popularitas kalian akan menurun. Kekuasaan kalian kalian akan dipandang sebelah mata karena aku. Dan aku bukan boneka yang kalian jaga."


Kris mendengus. "Itu hal terbodoh yang pernah aku dengar."


"Tidak!" Bantahku cepat. "Kalian tidak mengerti."


"Kau yang tidak mengerti, Hana!" Kris membentak dengan keras sehingga mampu membuat siapapun yang diam-diam mencuri dengar sejak tadi kini sudah mengamati dengan penasaran.


"Boneka? Apa pria seperti kami bermain boneka?" Kini Kai yang bicara.


Oh aku mohon. Aku tidak bermaksud melukai harga diri mereka.


"Oh maafkan aku. Tolong jangan masukkan ke dalam hati," sesalku.


"Hana, tentu aku sudah memikirkannya semua ini sebelum kami ambil langkah." Luhan menatapku datar sebelun menunduk untuk benar-benar melihatku.


"Apa yang kau takutkan bukanlah hal yang penting bagi kami. Semua itu sudah melekat dalam diri kami. Kau tahu kan, tidak ada yang menolak Wolf."


"Sebenarnya...." aku menghembuskan nafas, bimbang antara mengatakannya atau tidak. Kris sudah membuang wajahnya tidak lagi menatapku dan Kai lebih memilih menatap lantai marmer putih gading atau sepatunya, entahlah.


"Katakanlah!" Luhan tersenyum.


"Aku tidak pernah memiliki teman sebelumnya. Aku tidak tahu apa yang akan kita lakukan nanti sebagai teman. Apa itu jalan-jalan bersama atau apapun, aku tidak tahu."


Sulit dari dugaanku Luhan tertawa.


"Hei.. Hana. Apa kau fikir kita terlahir di dunia ini langsung memiliki teman? Itulah kenapa ada adaptasi. Kau harus terjun dan merasakannya dan biarkan itu berkembang secara alamiah. Dan maafkan si tempramental Kris dan juga si sensitif Kai."


Aku mengangguk. "Maafkan aku juga."


Luhan mengacak rambutku gemas. "Kau tahu, awalnya kami juga bukan teman. Kami bertemu dan terpaksa menjadi teman. Kami saling berbenturan dan terluka."


Aku mengerutkan kening, kurang mengerti dengan perkataan Luhan.


"Lupakan saja!"


Kai melingkarkan tangannya ke leherku. Aku bersyukur dia sudah bersikap biasa dan kembali menjadi sosok menawan berjalan menggiringku. Luhan berlari mensejajarkan tubuhnya disisi lain sebelahku. Menunduk dan berbisik, "Kau tahu, Hana. Kris begitu labil saat kau terus menghindari kami. Dan aku semakin yakin kalau dia jatuh cinta padamu."


Berhenti kembali menjadi menyebalkan, Xiu Luhan!


Kai yang mendengarnya hanya mengangkat ujung bibirnya dengan aku yang terus berusaha menghajar si sialan berubah manis menjadi menyebalkan.


Aku melihat kebelakang, Kris mengikuti langkah kami dengan pelan. Wajahnya selalu datar dan membosankan. Berlari kearahnya dan merangkul lengannya, menariknya agar berjalan lebih cepat.


"Hei.. sopir kita ketinggalan."


Dia tersenyum sedikit, hanya beberapa detik. Aku senang melihatnya.


 ------------------------------------------------------


Perpustakaan.


Tempat ternyaman di muka bumi ini. Bahkan mungkin bisa jadi tempat ternyaman dan paling nyaman daripada rumah reotku atau kamar sumpek ku. Tempat dengan buku-buku yang sudah seperti makanan yang selalu membuatku kelaparan ingin segera menyantapnya semua.


Duduk fokus dengan bacaanku, bolpoin dan note kecil yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Mereka sudah seperti sendok dan garpu, alat yang aku pakai untuk menyantap makanan lezat ini sebelum di proses oleh otakku.


Aku setuju saat orang bilang bahwa waktu akan berlalu dengan cepat saat kita melakukan kegiatan yang kita sukai. Dan waktu tiga atau empat jam bukanlah waktu yang lama bagi mereka yang bilang perpustakaan adalah tempat yang membosankan. Bahkan jika diperbolehkan, aku ingin tinggal saja disini dengan buku-buku untuk ku baca. Ups! Lebih tepatnya untuk publik, tapi aku paling rajin diantara anak-anak rajin. Jadi inilah hidupku. Si kutu buku.


"Hallo Hana."


Aku hampir saja mencoret catatan ku dan menjadi hal yang tak berguna saat serangan shock dari suara si menawan Kai duduk dengan seluruh kakinya diatas kursi menopang dagu dan tersenyum tanpa merasa bersalah sudah mengacau kesenanganku.


Oh tentu. Dia tidak sendiri. Dengan dua lainnya. Kris yang duduk sambil mengetuk-ngetuk meja bosan. Kaki panjangnya harus dilipat sedemikian rupa agar bisa masuk dan bersembunyi dibalik meja atau bisa melukai siapapun yang kebetulan lewat. Yeah meskipun kemungkinan kecil akan ada seseorang yang melewati mereka. Luhan berdiri bersandar rak dengan buku ditangan, fokus dan tidak memperdulikan ku. Dia si cerdas yang terkadang menyebalkan. Aku bisa melihatnya sangat mudah membalikkan lembar buku dengan jempolnya. Benar-benar sosok yang cerdas.


"Hana!" Kai menyapaku lagi agar kembali fokus ke arahnya.


"Apa yang kalian lakukan disini?"


"Kami hanya ingin melihat bagaimana Hana hidup di habitatnya. Benar-benar surgawi. Bahkan aku bisa melihat kau menggelengkan kepalamu seakan sedang mendengarkan lagu. Tapi aku berani bertaruh mobil Kris, bahwa kau sedang tidak mendengarkan lagu."


Kris berdecak kesal mendengar celotehan Kai.


"Wah sayangnya kau beruntung. Aku sedang tidak mendengarkan lagu. Tapi aku membuat lagu sendiri di telinga ku." Aku terkikik geli.


"Ya aku tahu. Kau jenius yang menyenangkan." Lagi Kai tersenyum. Dia orang yang paling sering tersenyum saat denganku.


"Dan maaf Hana. Bisa kau segera keluar dari tempat ini? Ayo bermain dan makan atau apapun. Aku bisa tidur jika lama-lama disini karena begitu hening."


Aku mengangguk. Merapikan buku dan map ku, mengembalikan buku-buku tadi pada tempatnya semula. Dan saat aku sudah siap, mereka sudah berdiri menunggu ku dengan Kai mengeluarkan sekotak susu dari saku menempelkannya pada pipi ku.


"Aku tahu kau belum makan atau minum apapun sejak tiga jam tadi."


Aku meraihnya dan menyobek di ujung. Sudah tidak dingin. Dan mungkin mereka sudah duduk sejak tiga jam tadi tapi aku tidak menyadarinya.


"Kau ingin kita kemana?" Kris bertanya. Oh akhirnya aku mendengar suaranya juga. Sejak tadi dia hanya diam. Yeah. Dia memang selalu diam. Tetapi entah kenapa sekarang dia jauh lebih pendiam. Apa sedang ada masalah?


"Pulang?"


"Oke." Ucap mereka kompak.


Parkiran sudah sepi. Tinggal beberapa belokan lagi kita akan bertemu dengan si kuda jingkrak merah menyala.


Aku menelan teriakanku saat Kris buru-buru mundur membuat kotak susu yang baru berkurang setengah mengotori kemeja kotak-kotakku sebelum akhirnya jatuh ke tanah.


Apa ini sedang shooting film action? Kenapa banyak sekali pria berpakaian hitam mengepung dan memutari kami. Aku terdiam ditengah diantara mereka yang berusaha melindungiku.


Sebenarnya apa ini?


"Kai.."


"Kita bermain dulu ya, Hana? Tutup matamu jika takut."


Sudah tidak ada pilihan lain. Aku menutup mataku, sungguh tidak tahu apa yang sedang terjadi. Entah aku terlalu bodoh atau terlalu mempercayai mereka. Tidak ada pilihan lain.


Tubuhku melayang dan terlempar kesana kemari dengan berakhir ditangkap dengan  mulus oleh yang lainnya. Aku bisa mendengar setiap bisikkan memintaku tenang saat aku jatuh kedalam pelukan mereka.


Apa sudah berakhir?


Aku membuka mata dengan Kris yang berdiri di depan ku. Kai dan Luhan sudah tumbang. Lebih tepatnya tidak bisa bergerak lagi. Tersisa Kris dan aku.


"Apa yang kalian inginkan?"


Aku meraba seragam Kris mencari pegangan sampai berakhir dengan genggaman erat.


"Kami tidak akan melakukan hal buruk jika Tuan menurut sejak awal."


Ada apa?


Kris berbalik dan menatapku. Benar-benar menatapku dan menggenggan tanganku.


"Jangan pergi kemanapun sendirian. Selalu bersama Kai dan Luhan. Mengerti?"


Aku mengangguk begitu saja seakan terhipnotis.


Kris melepas genggaman tangannya dan pergi diikuti mereka semua. Kai dan Luhan sudah terbebas.


"Inilah kenapa aku tidak menyetujuinya dulu." Celetuk Luhan tiba-tiba.


"Ada apa?"


Tidak ada yang menjawab.


"Kita pulang sekarang." Kai menarikku begitu saja tidak berkenan untuk menjawab pertanyaanku.


--------------------------------------------------



WOLF #3

12:04 AM 0 Comments A+ a-

#3


 ------------------------------------------------------

Semua orang memandangnya. Semua orang memperhatikan gerak-geriknya. Secara diam-diam, tidak terang-terangan kecuali memang lebih hebat dan kuat berani adu jotos dengan salah satu dari wolf. Mata yang tajam dan saling berbisik. Kantin yang ramai berubah menjadi pemakaman tua yang menyeramkan. Tidak ada suara apapun, bahkan untuk jalan kaki saja siapapun harus menahan kakinya untuk tidak membuat kegaduhan.

Kris menenteng nampannya lalu berlalu melewati beberapa blok meja begitu saja, tidak memperdulikan apapun. Matanya tajam dan kosong, terlihat dia tidak pernah menyukai situasi apapun di sekolah. Sedangkan Kai dan Luhan memainkan apel mereka sambil menggiringku yang berjalan seperti siput tua.

"Apa kau keluarga bangsawan?" Tanya Luhan meletakkan nampannya di meja sebelum menarik kursi dan duduk dengan nyaman.

Kai yang baru saja menarikkan kursi untukku hanya mengangkat alis dan duduk di kursinya.

"Apa maksudmu?"

"Kau berjalan sangat lemah lembut seperti bangsawan..." jelas Luhan. "Yang kelaparan." imbuhnya.

Aku mendengus sebal. "Aku rakyat jelata yang kelaparan."

"Rakyat jelata yang cantik." Kini Kai bersuara membuat pipi ku merona. Ya Tuhan.

"Jangan menggodanya, Kai." Aku tersedak dari minumanku saat Kris dengan suara beratnya dan garpu tepat di depan wajah Kai siap mencongkel dua bola mata itu dari kelopaknya.

Kai menampik tangan Kris tidak takut sama sekali.

"Hana yang mudah tergoda."

"Yak!" Teriakku tidak terima meskipun itu benar.

Sesaat aku benar-benar lupa dimana aku sekarang. Mereka selalu tahu bagaimana membuatku rileks dan jangan pedulikan apapun.

Luhan sudah menghabiskan hijau-hijauannya seperti kambing sedangkan aku baru memakan separuh dari isi piringku. Kai hanya makan apel, itu mengingatkanku pada Ryuk, dewa kematian di death note yang hanya mengkonsumsi apel.

Kris fokus dengan ponselnya sambil menungguku selesai makan.

"Maaf, makanku sangat lama."

"Tidak masalah! Makanlah seperti biasa. Masih ada banyak waktu." Kris menimpali tanpa menoleh.

Aku menggulung pasta ku dengan garpu sebelum lolos masuk kerongkongan. Sambil mengunyah, aku melihat sekeliling. Siluet itu datang. Saat aku di bully dengan kaki dimana-mana membuatku jatuh tersungkur dengan makanan yang berserakan dimana-mana. Bagaimanapun caranya mereka membuatku kotor dengan saus atau lainnya. Jika tidak, mereka akan menyuruhku duduk diperlakukan bagai boneka.

Huh, aku menghela nafas berat.

"Makan dan jangan pikirkan apapun." Kris lagi masih tidak memperhatikanku.

Dia peduli. Meskipun terlihat paling cuek tapi sebenarnya dia lah yang paling peka. Dia memang lebih pendiam, lebih dingin dan tidak tersentuh.

"Aku mengerti."

Kris, dia sangat dewasa. Dia kakak bagi Kai dan Luhan. Dia melindungi dan menjaga. Dia bertanggung jawab dari semua kekacauan yang mereka buat. Aku hanya tahu itu. Belum banyak. Tapi aku sungguh kagum dengannya. Seluruh kepribadiannya.

"Kenapa kau membantuku? Kenapa kalian menolongku?"

Saat ini kami sedang berada di istana si jenius Luhan. Benar,benar istana dalam arti yang sebenarnya. Rumahnya bergaya klasik tua tapi modern. Ala ala kayu dengan interior coklat dan cream yang menyatu.

Kris duduk dilantai beralas bulu-bulu halus membentang luas dengan mata terpejam. Apa dia tidur dan tidak mendengarku?

"Karena kau spesial."

Hanya itu. Tidak ada embel-embel lain.

"Kris, beri aku..."

"Kau! Hanya kau yang berani menatap kami, melawan kami. Aku tidak tahu apa kau begitu kutu buku sampai tidak mendengar kabar tentang kami. Tapi jelas kau tidak takut dengan kami. Cukup?" Dia sudah menatapku agak kesal karena menyuruhnya banyak bicara.

"Sesederhana itu?"

"Berharap lebih? Apa kau secantik Bella Swan sehingga membuat Vampire dan Werewolf menyukaimu?"

Aku mendengus. "Bukan seperti itu juga."

"Hei.. hei.. ada apa ini? Apa yang baru saja kalian bicarakan tanpa aku?" Kai datang setelah ganti baju memakai salah satu pakaian Luhan yang agak kurang pas ditubuhnya.

"Kau mau jadi lontong dengan pakaian seperti itu?" Komentar Kris, tepat seperti apa yang aku bayangkan.

"Lontong?" Kai berfikir sebentar. "Apa itu lontong?"

"Tanya google sana." Kini aku yang berkomentar sambil tertawa melihat Kai yang memang terlihat semakin kekar. Mungkin bagi gadis lain, ini seksi karena ototnya tercetak sempurna. Tetapi tidak denganku.

"Yak! Berhenti tertawa, Hana. Atau kau ada dalam masalah." Dia mengancam ku dan gagal. Aku tertawa lebih keras.

Berlari dan bersembunyi dibalik tubuh Kris mencari aman. Awalnya aku kira Kris akan marah saat setelah meletakkan ponselnya, tetapi dugaanku salah. Dia berdiri dan nelindungiku dari Kai. Sambil berpegangan erat pada seragamnya yang pasti akan menimbulkan bekas, aku mengikuti kemanapun Kris melangkah agar tetap berada dibelakangnya.

Kai tidak tinggal diam. Dia meminta Luhan membantunya yang sejak tadi hanya diam saja. Kami terkepung. Kris ganti memelukku menghalau mereka yang mau menyentuhku. Rasanya menyenangkan. Untuk pertama kalinya aku seakan memiliki segala-galanya di hidupku. Pertemanan, kepedulian, kesetiakawanan, kekuatan, kasih sayang, saling menjaga. Aku beruntung memiliki mereka.

"Kris menyukaimu."

Aku tersentak dengan apa yang baru saja ku dengar.

"April mop!" Balasku mengabaikan. "Leluconmu berhasil membuatku terkejut, Luhan."

Sedangkan pria imut yang ada di depanku menatapku dengan pandangan wanita-jenis-apa-dia-ini.

"Ini bulan Januari, Hana. Jangan konyol!"

Aku meringis sambil menggaruk belakang kepalaku, tidak gatal. "Januari mop."

Luhan memutar bola matanya menanggapi kekonyolanku.

"Lupakan! Kau pasti karena tidak ingin membahasnya."

Aku mengangguk. "Aku hanya tidak ingin besar kepala. Kalian menjagaku dan Kris tidak mungkin menyukai ku."

Luhan mengangkat bahu. "Aku juga berfikir begitu. Mana mungkin Kris menyukaimu -emm maksudku- kau bukan tipenya."

"Hei! Sudahlah. Aku tahu. Kau tidak perlu merasa tidak enak." Meninju lengan itu pelan. "Atau jangan-jangan kau yang menyukaiku?"

"Apa kau pintar? Aku suka gadis pintar dan tidak jadi bahan bully."

"Aish! Kenapa kau jujur sekali." Teriakku.

"Kenyataan itu pahit."

"Aku tahu! Dasar Luhan sadis."

"Tapi aku manis."

Dia tertawa, aku pun juga. Ada alasan kenapa kami bertemu, dan apapun itu. Aku bersyukur karena mereka menerimaku. Meski terkadang Luhan bermulut sangat pedas, tetapi dia tidak bertujuan untuk melukai siapapun. Meski Kai sangat kasar dan suka main kekerasan, tetapi dia pria yang menawan. Dan Kris meski dia sangat misterius, tetapi dia lah titik dari kesempurnaan.

Aku berharap persahabatan kami tidak saling menyakiti. Dan aku harus berusaha agar pantas menjadi teman mereka. Aku tidak akan menyusahkan dan membuat mereka terbebani. Aku tidak ingin kehilangan satu ataupun mereka semua. Aku akan jadi gadis baik yang mereka jaga. Bukan gadis lemah.
 ------------------------------------------------------

WOLF #2

11:51 PM 0 Comments A+ a-

#2


 ------------------------------------------------------

Deg.. deg.. deg..

Jantungku berdetak gila-gilaan. Ternyata apa yang nanti ku lalui hari ini akan mengubah seluruh tatanan kehidupanku di sekolah yang kelam dua tahun belakang.

Tiga murid pindahan yang mengatasnamakan dirinya "Wolf" berjanji akan melindungi ku dengan kekuatan mereka. Sampai detik ini aku masih belum mengerti kekuatan apa yang mereka maksud. Apa itu berpindah tempat secepat kedipan mata? Atau melawan orang yang suka membully ku dengan api? Atau yang seperti di music video black magic? Entahlah. Mereka masih bungkam. Lebih tepatnya aku yang belum bertanya dan mungkin mereka menungguku untuk bertanya.

Aku belum menyetujui ataupun mengiyakan berteman dengan mereka, katakan saja aku malas tertipu dengan orang-orang yang mengaku akan berteman denganku lalu nanti akan membully ku juga. Huh.

Tadi pagi tepat bahkan saat aku belum menyelesaikan sarapanku, mobil sport merah menyala sudah terparkir manis di depan rumah reotku yang habis dimakan usia.

Kris, the hottes yang bisa membuat siapapun mimisan hanya dengan tatapannya yang tajam. Dia paduan yang menarik. Mungkin jika kita bertemu diwaktu dan tempat yang berbeda, sudah yakin aku akan terpesona dan jatuh cinta memuja makhluk sempurna ini. Jalan dengannya akan membuat seluruh wanita melirik dua kali dan berdecak iri padamu. Oh gee aku mulai banyak bicara.

Luhan, si cantik yang membuatku iri. Dia pria berwajah cantik dan imut. Tubuh tinggi kecilnya tidak membuatnya seperti gay atau yaoi, tetapi dia tetap gagah dengan senyumnya yang menawan. Plus dia sangat cerdas. Ini harus ku akui saat dia bisa menganalisis esai dengan cepat bahkan tanpa berkeringat. Dia seperti adik yang manis.

Dan terakhir Kai. Sudah jelas dari otot yang menonjol di lengannya pas, tidak berlebihan bahwa dia memiliki kekuatan lebih di fisik. Selain jago olahraga, Kai juga sangat ahli memainkan tinjunya. Itupun aku tahu dari Luhan yang selalu mengolok-olok Kai karena kerja fisiknya lebih cepat dari otaknya. Dia menawan. Playboy sejati. Huh, sudah sangat terlihat dari khasnya sang bintang lapangan.

Dan yeah disini aku sekarang. Di dalam mobil merah menyala,yang sudah terparkir manis menyita seluruh tatapan siswa siswi yang lewat. Menunggu siapa gerangan pemilik si kuda jingkrak ini.

Kris berada dibalik kemudi ahlinya. Yeah. Dia raja jalanan. Spidometer melesat tajam begitu dia menginjak gas. Gila. Disaat aku sudah berdoa dan takut tabrakan atau apapun yang kemungkinan bisa mencabut nyawaku, justru dia menganggap ini sebuah permainan yang menarik seperti di time zone. What the hell!!!

"Aku... sesak.. nafas..." kataku terbata-bata mengetuk jendela mencari udara segar.

Kris segera menurunkan jendela sehingga membuatku bisa menghirup udara luar dengan rakus.

"Kemarilah. Biar aku bantu lepas sabuk pengamanmu."

Aku kembali duduk bersandar mencoba rileks. Kris mendekat, begitu dekat sampai aku bisa mencium paduan cologne dan parfum mahal yang maskulin. Menyegarkan.

Luhan sudah menatapku khawatir dan aku hanya mengangguk untuk memberitahunya aku baik-baik saja. Jangan khawatir.

"Kalian mau membunuhku?" Akhirnya aku bisa bicara juga.

Mereka saling pandang dan kembali menatapku bingung.

"Kris tidak akan membunuhmu. Dia sangat profesional dengan mainannya." Kai memberitahu.

Yeah. Dan aku merasa hampir saja mau dibunuh. Di dorong ke jurang oleh tiga orang ini yang terlihat biasa saja dan sedangkan aku sudah siap mati.

"Kau tidak akan mati dengan mudah. Kami tidak akan membiarkannya." Kris menenangkanku. Menyenangkan khasnya. Yang tidak berhasil.

Luhan mengusap lenganku pelan dan tersenyum. "5 menit. Tenangkan dirimu 5 menit. Lalu kita akan mengguncang Sekolahan ini dengan kedatanganmu."

Aku mengangguk. Yeah Luhan yang manis.

Diam. Hanya memperhatikan beberapa siswa yang masih mengamati mobil ini.

"Sebenarnya siapa kalian? Aku tidak mungkin percaya pada kalian jika aku saja tidak tahu siapa kalian."

Mereka kembali saling pandang tersenyum.

"Wolf."

Singkat. Padat. Jelas.

"Apa kalian jacob? Hah? Apa ini twilight? Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan!" Arght! Erangku frustasi.

"Siapa jacob? Apa dia lebih tampan dariku?" Tanya Kai seolah-olah tidak tahu. Ayolah siapa yang tidak tahu twilight dan jacob?

"Jangan ragu. Mari genggam tangan kami dan kau akan tahu segalanya." Kris meyakinkan. Tanpa menunggu gerak tanganku yang bagai siput, dia menarik genggaman tanganku dan memelukku tiba-tiba membuatku membentur dadanya yang keras.

"Gadis pintar."

Tidak sampai sana. Kai ganti mengusap kepalaku lebih tepatnya mengacak rambutku, mau tidak mau aku tersenyum.

Kami Wolf. Bukan Jacob atau siapapun yang kau sebut itu. Kami juga tidak tahu kenapa kami disebut wolf. Jelasnya kami berbahaya. Kami memiliki banyak sekali catatan kriminal. Itulah kenapa kami berbahaya. Tapi kami akan menjagamu. Kami akan melindungimu dari apapun. Kau akan jadi wanita baik yang kami jaga. Dan kami akan menjadi pria nakalmu yang menyenangkan.

Mereka bertiga keluar mobil dan berjalan keluar meninggalkanku yang masih terdiam. Saat Kai berbalik menatapku.

"Kau ikut?"

Dia berbalik dan membuka pintu mobil untukku. Aku segera turun dengan patuh dan terburu-buru.

"Wow kau bisa jatuh jika tidak hati-hati, Hana." Seru Kai mengomentari tingkahku.

"Maaf."

"Jangan membuatmu terluka jika tanpa kami, mengerti?"

Aku mengangguk begitu saja. Aura mereka benar-benar kuat jika satu lawan satu seperti ini. Aku tidak yakin bahwa pria dengan tangan yang tenggelam dalam saku celana dengan kupluk biru menutupi rambut hitamnya, adalah orang yang menggendongku ke UKS bagai seorang putri.

Kaki panjang memasuki pintu utama membuat semua orang menatap ke arah sana. Semua terkejut, takut, terbelalak, diam dan hanya memperhatikan mereka.

"Itu mereka."

"Mereka datang."

Bisik-bisik itu langsung terdengar tapi mereka mengabaikannya. Kris mengacak rambut yellow gold nya menjadi berantakan. Semua tercekat. Terpesona tapi takut sedangkan Luhan kembali menatap kebelakang.

"Aku rasa kita meninggalkan sesuatu." Kata Luhan pada Kris.

Sesuatu? Semua menduga-duga apa yang sekiranya mereka tinggalkan. Kris hanya mengangkat bahu malas. Yeah, mata kosongnya benar-benar menunjukkan bahwa dia tidak menyukai tempat ini. Membosankan.

"Nah itu dia." Luhan menunjuk.dengan semangat ke arah Kai dan... Hana, yeah kearahku.

Oh shit! Semua berkumpul mengelilingi kami. Apa ini Boys Before Flowers?

"Ini tidak mungkin."

"Si payah Hana."

"Siapa yang kau sebut payah?" Kris merespone dengan cepat ke arah gadis yang baru saja menutup mulutnya segera.

"Hana! Bukan kau." Belanya.

"Dia bagian dari kami. Jadi kau bilang kami payah?"

"Bukan seperti itu, tapi..."

Kris melangkah pelan. Akan tetapi kaki panjangnya menghasilkan langkah yang lebar membuatnya cepat sampai.

"Dia pasti mengompol dicelana." Gumamku.

"Wow, apa kau mau itu terjadi? Itu sangat mudah bagi Kris." Kai menimpali gumamanku dengan suara kerasnya.

"Apa yang kau inginkan Hana?" Kini Kris yang bertanya.

Aku diam menatap punggung lebar di depan sana, seluruh tatapan jijik yang ditujukan padaku, dan tatapan lembut Kai mengangguk mengisyaratkan katakan-saja.

"Buat dia mengompol." Kataku ragu-ragu.

"Sialan Hana!"

Aku menutup mataku ketakutan. Entah kenapa hal ini justru membuatku ketakutan setengah mati. Andai saja lengan kuat Kai tidak merangkulku. Mungkin.aku sudah jatuh pingsan di lantai saat ini.

"Ada yang ingin memberitahuku siapa nama gadis di depanku sekarang ini?"

Hening. Diam. Tidak ada yang menjawab.

"Angel."

Kai berseru keras. "Dia yang melempar bola ke arah Hana kemarin."

"Wow dia mengerikan." Komentar Luhan pada gadis yang sudah gemetar dibawah tatapan Kris.

"Bagaimana bisa seorang bernama malaikat menyimpan iblis di dalam tubuhnya?"

"Itu bukan urusanmu." Angel tipe yang keras kepala. Dia masih berusaha membantah meskipun aku tahu kandung kemihnya sudah penuh sekarang.

"Jangan membuatku mengulangi perkataanku lagi. Aku tahu kau tidak sebodoh itu untuk mencerna kalimat sederhana 'dia bagian dari kami', kau tahu?"

Semua meneguk ludah masing-masing termasuk aku. Dibully orang lain itu masih lebih baik. Tetapi ini Kris, semua wanita menginginkannya. Selain gemetaran, aku bisa melihat mata Angel tidak fokus melihat jakun dan seragam tanpa kaus didalam membalut tubuh atletis Kris.

"Apa yang kau lihat, Angel? Tubuhku? Kau ingin menyentuhnya?"

"Sial!" Desis Angel mencoba tidak terprovokasi.

"Jika kau menyentuhnya lagi. Kau dan keluargamu akan bertemu denganku dan keluargaku. Bukankah itu menarik?"

"Aku.. aku.."

"Ngomong-ngomong namaku Wu Yi Fan. Kau ingat? Keluargamu pasti ingat."

Angel meneguk ludahnya dan memilih mundur teratur. Yeah mengecewakan dia tidak mengompol, tetapi melihatnya yang ketakutan seperti anak anjing sudah cukup.

Kris membuka jalan untuk kami dengan Kai dan Luhan yang mengampitku. Aku bagai putri,putri yang sesungguhnya.

"Aku tidak tahu keluargamu begitu berpengaruh," kataku pada Kris yang kembali misterius.

"Dia anak orang kaya." Kai yag menjawab.

"Sangat kaya." Luhan mengoreksi. "Dia lah yang membebaskan kami dari seluruh apa yang telah kami lakukan. Itu karena uang dan kekuasaannya."

Belum sempat raut wah ku selesai tercetak, Kris sudah menatap dua temannya dengan pandangan mengeras. "Jangan bicara apapun."

Kai tersenyum nakal mendengarnya.

"Ayo masuk kelasmu, Hana."

Kai membuka pintu untukku. Sekarang aku tahu alasan kenapa dia playboy. Dia sungguh player yang menawan.

Pagi ini mengecewakan, aku tidak satu kelas dengan salah satu dari mereka. Itu artinya aku harus siap kembali ke dunia normal tanpa mereka. Inilah neraka ku.

PLAKK!!

Keras. Sakit. Memar. Panas.

Angel. Gadis itu menamparku dengan keras lalu menjambak rambutku kuat rasanya akar rambutku nyaris lepas dari ubun-ubun. Aku bersumpah ini menyakitkan.

"Kau murahan!"

"Jalang!"

"Brengsek!"

"Tidak tahu diri!"

Lalu melemparku kuat hingga perutku kecil ini membentur ujung meja, menohok keras.

Menjambak lagi dan lagi. Aku rasa rambutku sudah rontok karena tarikannya yang kuat. Ya Tuhan.

Mereka bilang mereka akan menjagaku.

"Apa kau tidur dengan mereka hah, jalang? Dengan imbalan kau jadi boneka yang mereka jaga?"

Oh Tuhan. Ini salah. Ini tidak benar.

"Boneka?"

Suara berat khas yang sangat aku kenal melepaskan cengkeraman di rambutku membuatku seketika terjatuh, lemas.

"Siapa yang kau panggil jalang?" Kris tampak murka. Benar-benar marah dan aku ketakutan menyadari dia sangat marah.

"Tato di punggung dan payudara kiri. Ada bekas luka di pangkal paha. Tindik di pusar dan tunggu... apa aku harus mengatakan semuanya disini?" Luhan lebih tenang tapi memiliki efek dashyat bagi Angel yang mencari pegangan terdekat agar membuatnya tetap berdiri.

"Kau fikir kami tahu darimana itu semua hm? Bahkan kau bukanlah tipe untuk kami jamah." Kai mengatakannya tapi tatapannya jatuh ke arahku, sedih.

"Apa kau juga ingin tahu berapa pria yang sudah suka rela membagi informasi penting itu pada kami dan beberapa foto."

"Kalian mengancamku?"

"Ini bukan ancaman sekarang." Kris sudah mengtak-atik ponselnya segera di rebut Angel dan terbanting hancur di sudut kelas.

Lalu keluar begitu saja.

Kris menatapku yang mengenaskan. Kai sudah terlebih dulu mengajakku berdiri menghampiri Kris. Yeah, tatapan kosong yang misterius. Tatapan paling dalam dan tidak tertebak.

"Maafkan kami." Ucapnya tulus.

"Tidak masalah." Aku meyakinkan, ini bukanlah salahnya.

"Hukum aku."

"Kris.."

"Hukum dia." Kini Luhan yang bicara.

"Oh ayolah.. ok aku akan menghukummu. Gendong aku menjauh dari tempat ini segera. Bagaimana?"

Kris mengangguk dan segera memanggulku bagai beras.

Yak! Kris!

Dia tertawa. Kai tertawa. Luhan juga. Akupun ikut tetawa karena mereka meskipun pusing karena posisi tubuhku yang terbalik.

 ------------------------------------------------------