WOLF #4
#4
------------------------------------------------------
Aku menyadari satu hal
setelah satu pekan kami bersama. Kris. Hanya pria itu yang paling dekat
dan protektif padaku, tapi aku bahkan tidak mengenalnya. Dia sangat
tertutup dan tidak banyak bicara. Dia melakukan semuanya dengan tindakan
tanpa bicara. Dan ucapan Luhan beberapa waktu lalu yang nengatakan
bahwa Kris menyukaiku justru membuatku terus mengamatinya saat bersama.
Awalnya Kris tampak biasa saja dan tidak peduli, tetapi lama-lama dia
mulai kesal dan menatap tajam kearahku.
Duduk di tribun
sendirian menatap mereka yang sedang memantulkan si bundar. Yeah tidak
ada yang berani mendekat bahkan untuk mencampuriku ataupun menyapa.
Karena secepat kilat, mereka akan mendorong siapapun itu menjauh dariku.
Akan tetapi aku masih
tidak yakin apa mereka benar-benar bisa mendorong siapapun dengan posisi aku
yang jauh dari mereka, duduk dan tersembunyi.
Aku tidak bersembunyi
dari orang-orang yang dulu membullyku, aku tidak takut lagi pada mereka
bahkan saat mereka menghajarku atau membuatku jatuh. Tetapi tiga
orang itu, wolf. Setelah kalimat Luhan yang konyol dan Kris yang selalu menangkap
basah saat aku yang sedang memandanginya, membuatku takut dan khawatir.
Aku menghela nafas
berat. Sebenarnya apa yang aku lakukan sekarang? Kenapa aku seperti ini?
Luhan hanya menggodaku. Dia pembohong yang baik.
Setelah merapikan
beberapa map, aku segera berdiri dan melangkah keluar dengan tidak
terlihat oleh mereka. Menyusuri lorong koridor, mengabaikan beberapa
orang menuju loker ku.
Jeritan tertahan berhasil lolos sebelum ku tutup mulutku saat mendapat tarikan mendadak dari arah belakang kerah bajuku.
Kris.
"Hai Hana." Kai menyapa dengan riang.
"Aku rasa seharian ini kita belum bertemu." Kini Luhan tersenyum penuh arti.
Aku segera menarik kerahku yang masih dicengkeram Kris dengan mudah.
"Aku sibuk." Belaku pura-pura mengabaikan mereka.
"Yeah tentu, sibuk memandangi dari jauh dan menghilang tiba-tiba."
Aku memutar bola mataku. "Aku tidak melakukan itu. Untuk apa melakukannya?"
"Yeah untuk apa melakukannya? Aku juga tidak tahu. Karena bukan aku yang melakukannya. Mungkin kau tahu?"
Kris.
"Ya. Aku memang menghindari kalian,"gumamku pelan.
"Kenapa?" Kai menimpali dengan cepat.
"Apa karena ucapanku waktu itu?" Kini Luhan memperparah keadaan dengan membahasnya lagi.
Luhan bodoh dengan senyum penuh artinya.
"Memang apa yang kau katakan padanya? Kau mengancamnya?"
Oh Kai jangan membahasnya.
"Tidak. Aku hanya bilang kalau ternyata.... bft...bf.."
Tanganku sudah membekap
mulut cerewet si imut sialan ini. Bisa-bisanya dia membeberkan
kebohongannya bahkan di depan Kris. Sialan.
"Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan?"
"Tidak ada." Kataku cepat.
Mereka bertiga menatapku tajam.
"Baiklah. Bisa kita lupakan ini? Meskipun aku berusaha menghindari kalian tapi hasilnya tetap kalian pasti akan menemukanku."
"Lalu kenapa mencoba jika sudah tahu?"
"Aku takut menyusahkan
kalian. Dan kita berbeda. Aku dan kalian semua. Kalian memiliki semua
yang kalian mau. Kalian punya popularitas dan kekuasaan. Kalian.. dan
aku. Aku hanya penghambat. Popularitas kalian akan menurun. Kekuasaan
kalian kalian akan dipandang sebelah mata karena aku. Dan aku bukan
boneka yang kalian jaga."
Kris mendengus. "Itu hal terbodoh yang pernah aku dengar."
"Tidak!" Bantahku cepat. "Kalian tidak mengerti."
"Kau yang tidak
mengerti, Hana!" Kris membentak dengan keras sehingga mampu membuat
siapapun yang diam-diam mencuri dengar sejak tadi kini sudah mengamati
dengan penasaran.
"Boneka? Apa pria seperti kami bermain boneka?" Kini Kai yang bicara.
Oh aku mohon. Aku tidak bermaksud melukai harga diri mereka.
"Oh maafkan aku. Tolong jangan masukkan ke dalam hati," sesalku.
"Hana, tentu aku sudah
memikirkannya semua ini sebelum kami ambil langkah." Luhan menatapku
datar sebelun menunduk untuk benar-benar melihatku.
"Apa yang kau takutkan
bukanlah hal yang penting bagi kami. Semua itu sudah melekat dalam diri
kami. Kau tahu kan, tidak ada yang menolak Wolf."
"Sebenarnya...." aku
menghembuskan nafas, bimbang antara mengatakannya atau tidak. Kris sudah
membuang wajahnya tidak lagi menatapku dan Kai lebih memilih menatap
lantai marmer putih gading atau sepatunya, entahlah.
"Katakanlah!" Luhan tersenyum.
"Aku tidak pernah
memiliki teman sebelumnya. Aku tidak tahu apa yang akan kita lakukan
nanti sebagai teman. Apa itu jalan-jalan bersama atau apapun, aku tidak
tahu."
Sulit dari dugaanku Luhan tertawa.
"Hei.. Hana. Apa kau
fikir kita terlahir di dunia ini langsung memiliki teman? Itulah kenapa
ada adaptasi. Kau harus terjun dan merasakannya dan biarkan itu
berkembang secara alamiah. Dan maafkan si tempramental Kris dan juga si
sensitif Kai."
Aku mengangguk. "Maafkan aku juga."
Luhan mengacak rambutku
gemas. "Kau tahu, awalnya kami juga bukan teman. Kami bertemu dan
terpaksa menjadi teman. Kami saling berbenturan dan terluka."
Aku mengerutkan kening, kurang mengerti dengan perkataan Luhan.
"Lupakan saja!"
Kai melingkarkan
tangannya ke leherku. Aku bersyukur dia sudah bersikap biasa dan kembali
menjadi sosok menawan berjalan menggiringku. Luhan berlari
mensejajarkan tubuhnya disisi lain sebelahku. Menunduk dan berbisik,
"Kau tahu, Hana. Kris begitu labil saat kau terus menghindari kami. Dan
aku semakin yakin kalau dia jatuh cinta padamu."
Berhenti kembali menjadi menyebalkan, Xiu Luhan!
Kai yang mendengarnya
hanya mengangkat ujung bibirnya dengan aku yang terus berusaha menghajar
si sialan berubah manis menjadi menyebalkan.
Aku melihat kebelakang,
Kris mengikuti langkah kami dengan pelan. Wajahnya selalu datar dan
membosankan. Berlari kearahnya dan merangkul lengannya, menariknya agar
berjalan lebih cepat.
"Hei.. sopir kita ketinggalan."
Dia tersenyum sedikit, hanya beberapa detik. Aku senang melihatnya.
------------------------------------------------------
Perpustakaan.
Tempat ternyaman di muka
bumi ini. Bahkan mungkin bisa jadi tempat ternyaman dan paling nyaman
daripada rumah reotku atau kamar sumpek ku. Tempat dengan buku-buku yang sudah
seperti makanan yang selalu membuatku kelaparan ingin segera
menyantapnya semua.
Duduk fokus dengan
bacaanku, bolpoin dan note kecil yang selalu menemaniku kemanapun
aku pergi. Mereka sudah seperti sendok dan garpu, alat yang aku pakai
untuk menyantap makanan lezat ini sebelum di proses oleh otakku.
Aku setuju saat orang
bilang bahwa waktu akan berlalu dengan cepat saat kita melakukan
kegiatan yang kita sukai. Dan waktu tiga atau empat jam bukanlah waktu
yang lama bagi mereka yang bilang perpustakaan adalah tempat yang
membosankan. Bahkan jika diperbolehkan, aku ingin tinggal saja disini
dengan buku-buku untuk ku baca. Ups! Lebih tepatnya untuk publik, tapi
aku paling rajin diantara anak-anak rajin. Jadi inilah hidupku. Si kutu
buku.
"Hallo Hana."
Aku hampir saja mencoret
catatan ku dan menjadi hal yang tak berguna saat serangan shock dari
suara si menawan Kai duduk dengan seluruh kakinya diatas kursi menopang
dagu dan tersenyum tanpa merasa bersalah sudah mengacau kesenanganku.
Oh tentu. Dia tidak
sendiri. Dengan dua lainnya. Kris yang duduk sambil mengetuk-ngetuk meja
bosan. Kaki panjangnya harus dilipat sedemikian rupa agar bisa masuk
dan bersembunyi dibalik meja atau bisa melukai siapapun yang kebetulan
lewat. Yeah meskipun kemungkinan kecil akan ada seseorang yang melewati
mereka. Luhan berdiri bersandar rak dengan buku ditangan, fokus dan
tidak memperdulikan ku. Dia si cerdas yang terkadang menyebalkan. Aku
bisa melihatnya sangat mudah membalikkan lembar buku dengan jempolnya.
Benar-benar sosok yang cerdas.
"Hana!" Kai menyapaku lagi agar kembali fokus ke arahnya.
"Apa yang kalian lakukan disini?"
"Kami hanya ingin
melihat bagaimana Hana hidup di habitatnya. Benar-benar surgawi. Bahkan
aku bisa melihat kau menggelengkan kepalamu seakan sedang mendengarkan
lagu. Tapi aku berani bertaruh mobil Kris, bahwa kau sedang tidak
mendengarkan lagu."
Kris berdecak kesal mendengar celotehan Kai.
"Wah sayangnya kau
beruntung. Aku sedang tidak mendengarkan lagu. Tapi aku membuat lagu
sendiri di telinga ku." Aku terkikik geli.
"Ya aku tahu. Kau jenius yang menyenangkan." Lagi Kai tersenyum. Dia orang yang paling sering tersenyum saat denganku.
"Dan maaf Hana. Bisa kau
segera keluar dari tempat ini? Ayo bermain dan makan atau apapun. Aku
bisa tidur jika lama-lama disini karena begitu hening."
Aku mengangguk.
Merapikan buku dan map ku, mengembalikan buku-buku tadi pada tempatnya
semula. Dan saat aku sudah siap, mereka sudah berdiri menunggu ku dengan
Kai mengeluarkan sekotak susu dari saku menempelkannya pada pipi ku.
"Aku tahu kau belum makan atau minum apapun sejak tiga jam tadi."
Aku meraihnya dan
menyobek di ujung. Sudah tidak dingin. Dan mungkin mereka sudah duduk
sejak tiga jam tadi tapi aku tidak menyadarinya.
"Kau ingin kita kemana?"
Kris bertanya. Oh akhirnya aku mendengar suaranya juga. Sejak tadi dia
hanya diam. Yeah. Dia memang selalu diam. Tetapi entah kenapa sekarang
dia jauh lebih pendiam. Apa sedang ada masalah?
"Pulang?"
"Oke." Ucap mereka kompak.
Parkiran sudah sepi. Tinggal beberapa belokan lagi kita akan bertemu dengan si kuda jingkrak merah menyala.
Aku menelan teriakanku
saat Kris buru-buru mundur membuat kotak susu yang baru berkurang
setengah mengotori kemeja kotak-kotakku sebelum akhirnya jatuh ke tanah.
Apa ini sedang shooting
film action? Kenapa banyak sekali pria berpakaian hitam mengepung dan
memutari kami. Aku terdiam ditengah diantara mereka yang berusaha
melindungiku.
Sebenarnya apa ini?
"Kai.."
"Kita bermain dulu ya, Hana? Tutup matamu jika takut."
Sudah tidak ada pilihan
lain. Aku menutup mataku, sungguh tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Entah aku terlalu bodoh atau terlalu mempercayai mereka. Tidak ada
pilihan lain.
Tubuhku melayang dan
terlempar kesana kemari dengan berakhir ditangkap dengan mulus oleh
yang lainnya. Aku bisa mendengar setiap bisikkan memintaku tenang saat
aku jatuh kedalam pelukan mereka.
Apa sudah berakhir?
Aku membuka mata dengan
Kris yang berdiri di depan ku. Kai dan Luhan sudah tumbang. Lebih
tepatnya tidak bisa bergerak lagi. Tersisa Kris dan aku.
"Apa yang kalian inginkan?"
Aku meraba seragam Kris mencari pegangan sampai berakhir dengan genggaman erat.
"Kami tidak akan melakukan hal buruk jika Tuan menurut sejak awal."
Ada apa?
Kris berbalik dan menatapku. Benar-benar menatapku dan menggenggan tanganku.
"Jangan pergi kemanapun sendirian. Selalu bersama Kai dan Luhan. Mengerti?"
Aku mengangguk begitu saja seakan terhipnotis.
Kris melepas genggaman tangannya dan pergi diikuti mereka semua. Kai dan Luhan sudah terbebas.
"Inilah kenapa aku tidak menyetujuinya dulu." Celetuk Luhan tiba-tiba.
"Ada apa?"
Tidak ada yang menjawab.
"Kita pulang sekarang." Kai menarikku begitu saja tidak berkenan untuk menjawab pertanyaanku.
--------------------------------------------------