L U C A S #3
#3
------------------------------------------------------
Siapa dibelahan sekolah
ini yang tidak mengenal Lucas? Bukan orang pintar dengan segudang
prestasinya, bukan orang penting dengan jabatan dan dedikasinya, juga
bukan orang yang disayang guru. Dia hanya terkenal. Banyak orang
mengenalnya. Dari guru, senior, junior, sampai teman seangkatannya semua
pasti kenal Lucas. Terkenal karena baik? Kau bercanda? Mana ada orang
baik yang ditakuti semua orang? Lebih tepatnya menghindar atau kau dapat
masalah.
Lucas,
dia si biang onar, si pembuat masalah, si otak payah karena gerak
tangannya lebih cepat dari isi kepalanya. Dia tidak akan segan-segan
menghabisi siapapun dan dimanapun yang membuat masalah dengannya. Dia
tidak pernah takut untuk dihukum atau parahnya dikeluarkan dari sekolah.
Dia tidak takut dicap bermasalah, karena memang sejak awal dia sudah
sangat bermasalah. Dia tidak takut hancur, karena sudah seperti katanya.
"Luc,
aku mengerti kenapa kau seperti sekarang. Apa kau tidak lelah terus
membuat dirimu bermasalah? Apa kau tidak takut..." Dareen menatap
sahabatnya yang lebih memilih menginap di rumahnya daripada pulang ke
rumah.
"Apa yang perlu aku takutkan? Toh aku sudah lama hancur."
Dareen
hanya menghela nafas. Ya memang benar. Hancur. Semua yang ada di rumah
dan hidup Lucas sudah hancur. Keluarga yang berantakan, perhatian yang
nol besar, pemberontakan dimana-mana, hati yang tidak kalah hancurnya.
Mau apa lagi?
Bel
pertanda istirahat sudah berbunyi. Berjalan santai dengan sedikit
gerakan merilekskan otot akibat tidur dalam keadaan duduk dengan Hazel
dan Dareen dibelakangnya berjalan mengekor menyusuri koridor kelas
menuju kantin.
Orang
yang awalnya menghalangi jalan, seketika membelah teratur seperti sudah
diatur tanpa perlu dikomando. Aksi sikut menyikut membuka jalan bagi
tiga makhluk yang sudah sangat dikenal. Hazel, merupakan satu-satunya
gadis yang bisa masuk dikehidupan Lucas, bereksplorasi bebas tanpa
canggung. Dan Dareen, semua sudah tahu kalau Dareen seperti soulmate
yang selalu mengikuti kemanapun Lucas pergi. Dimana ada Lucas, disitu
pasti ada Dareen. Ya seperti itulah pertemanan mereka.
Setelah
memesan makanan dan membawa semangkok bakso masih dengan Hazel dan
Dareen, berjalan menuju meja mereka, tempat biasa mereka habiskan saat
di kantin bersama.
Lucas
berhenti sebentar menyipitkan matanya melihat seseorang dengan lancang
sudah menduduki kursinya. Dareen yang tepat dibelakangnya, melongok
heran dengan apa yang Lucas lihat sampai membuatnya berhenti.
Gadis itu lagi.
Lucas
melangkahkan kakinya lalu menendang meja di depannya sehinga
menimbulkan goncangan kecil tapi menimbulkan efek besar bagi seluruh
kantin. Kedatangannya di kantin saja sudah jadi pusat perhatian, apalagi
ditambah dengan ini. Tentu mereka bertanya-tanya apa yang akan
dilakukan si berandal ini.
Lucas
bukan orang yang suka berurusan dengan gadis. Karena menurutnya ribet
dan mau bagaimanapun dia tidak akan menang. Pepatah dengan kalimat cewek selalu benar tentu
benar-benar mematikan. Bagaimana tidak, dia adu jotos bisa jadi
pengecut karena memukul perempuan. Dia diam saja dibilang pengecut juga
karena tidak berani. Dia adu mulut juga dibilang pengecut karena banyak
bicara. Jadi apa yang bisa dia lakukan?
"Siapa yang mengijinkanmu duduk disini?" Tanya Lucas rendah.
Gadis itu mendongak terkejut dengan siapa sekarang dia berhadapan dan bagaimana seluruh kantin menatapnya.
"Aku
tanya siapa yang mengijinkanmu duduk disini?" Lucas kini meninggikan
suaranya membuat suasana kantin jadi semakin sunyi. Meminimalisir bunyi
sekecil apapun.
Lucas
biasa jajan di kantin kelas sepuluh karena menurutnya kantin kelas
sebelas jajanannya tidak seenak kantin kelas sepuluh. Dan untuk pertama
kalinya dalam hidupnya menginjakkan kaki di sekolah ini dan menjadi
seseorang yang ditakuti karena sikapnya, ada seorang gadis duduk dengan
nyaman di bangkunya.
"Kau mau pindah sendiri atau aku pindahkan?" Lagi.
Ara
hendak menjawab sebelum tiba-tiba seseorang menggeser piringnya ke
samping dan menyuruhnya bergeser, ganti dia yang menduduki tempat duduk
Ara.
"Makanlah dengan tenang." Kata orang itu mengunyah pasta nya.
Lucas
berdecak kesal. Ada apa dengan saudaranya hari ini? Biasanya dia tidak
peduli apapun yang dia lakukan, kalaupun iya dia hanya bertanya secara
pribadi bukan dengan aksi terang-terangan.
"Ada apa denganmu?" Tanya Lucas.
"Apanya yang apa?" L menirukan kalimat yang sering digunakan Lucas tetapi dengan gaya yang tidak terlalu peduli.
Dareen
dan Hazel yang sejak tadi diam saja sudah duduk tanpa berkata apapun,
dengan tangan Dareen menepuk pundak Lucas memintanya duduk saja.
Ara terkejut.
Dua orang yang sama. Wajah yang sama. Jadi mana yang kemarin malam yang.. yang...
"Apa kau baik-baik saja?" Tanya L begitu melihat Ara masih diam belum menyentuh makanannya.
Tergeragap terkejut, menatap L, "Ya?"
Kenapa
suasana terasa mencekam sekarang? Tidak hanya satu meja yang menatapnya
heran dan penasaran, tapi seluruh meja. Dia belum tahu apa-apa dan
siapa-siapa. Tapi melihat mereka yang terlihat begitu menawan dengan
decakan yang terus berbisik mengusik telinganya tentu ini bisa jadi awal
yang buruk.
"Dia beruntung."
"Sial! L bicara padanya. Pasti aku sudah meleleh jika ada diposisinya."
"Apa dia tidak tahu apa-apa? L bicara padanya. Menakjubkan."
"Beraninya dia mendekati L ku."
"Dia pasti akan mati ditangan Lucas."
"Siapa sih gadis itu? Aku pertama kali melihatnya."
"Apa dia anak orang kaya?"
Huh! Ara mengangguk dan tersenyum pada L. "Aku baik-baik saja, Kak. Terimakasih sudah bertanya."
L mengangguk mengerti.
Lucas menatap kedua makhluk yang ada di depannya dengan pandangan tidak suka. Apa dia fikir ini sinetron?
"Kalian berkencan?" Celetuk Lucas membuat suasana kembali hening.
Ara hendak membantah tetapi hilang dalam suara berat L, "Tidak. Kami saling mengenal."
"Iyakah?" Lucas mendengus curiga. "Dia juga mengenalku. Bahkan tahu namaku."
Tidak ada tanggapan.
"Apa kau tahu namanya?" Kini Lucas bertanya pada Ara yang canggung dengan posisinya.
Tik
Tok
Tik
Tok
L
menatapnya tajam dan mengangguk tak-apa sedangkan seluruh kantin
menunggu tidak sabar. Bingung. Sebenarnya ada apa diantara mereka.
"Ee.... el."
L tersenyum menang. "Dia juga tahu namaku."
"Kalian ini sedang
ngapain sih? Main drama? Theater? Dan kau murid baru. Sebenarnya siapa
kau? Apa kau pacarnya Lucas? Tapi terjebak kencan dengan L? Apa kalian
pikir ini drama korea?" Dareen mengacak rambutnya frustasi. Bingung.
Sebenarnya ada apa diantara mereka?
Hazel hanya tersenyum
dalam diam. Ada yang tidak beres dengan dua saudara ini. Hatinya menciut
tiba-tiba. Sakit dengan interaksi biasa, tapi tidak biasa karena mereka
yang melakukannya. Panah cupit menyakitinya dan mengoyak begitu perih
melahirkan sebuah rasa cemburu yang sebenarnya tidak perlu.
Kantin
kembali seperti semula. Cukup berisik tidak setenang tadi. Karena dia
tahu, tenang juga bisa membuat situasi akan terus berada di fase darurat
rawan meledak. Sampai pada akhirnya ada seorang siswa datang ke meja
Lucas yang hampir kena damprat Lucas karena sudah mengganggunya makan.
"Tenang Luc." Ricky mengangkat kedua tangannya ke udara tanda menyari aman. "Dengar dulu. Motormu.."
"Motorku kenapa?"
"Mending lihat sendiri."
Seluruh
meja saling pandang, lalu Lucas berlari menyusuri koridor menuju tempat
motornya biasa terparkir di ikuti dengan orang-orang yang penasaran
atau parahnya menduga apa yang akan terjadi karena sudah mencari masalah
dengan Lucas.
Lucas berjalan cepat menerobos kerumunan dan melihat betapa mengenaskannya sekarang teman setianya, si sacul, motornya.
Dia
menggertakan giginya dan mengepalkan tanggannya kuat berusaha meredam
emosinya agar tetap tenang. Di depannya sekarang adalah satu-satunya
hadiah dalam hidupnya. Satu-satunya yang memberinya penjelasan bahwa dia
punya ibu, dan ibu sayang padanya. Ibu yang mencintainya dan mengingat
hari ulang tahunnya. Ibu yang ternyata lebih memilih pergi
meninggalkannya.
Spion rusak parah dengan coretan dan lecet dimana-mana.
Bangsat mana yang berani melakukan hal ini.
Pandangannya menyusuri seluruh parkiran sampai mata elangnya bertemu dengan tikus sawah kotor dan menjijikkan.
Dengan santai Lucas berjalan menghampiri junior yang tengah berdiri di depan ferrari merah kebanggaannya, terlihat ketakutan.
Deg!
Semua menelan ludah saat kedua mata saling berhadapan dengan jarak yang begitu dekat.
"Kau dalam masalah besar, nak" Tanya Lucas mengangkat ujung bibirnya.
"Kak, maaf..."
Belum sempat orang di
depannya menyelesaikan ucapannya, Lucas sudah terlebih dulu bertkata,
"Jangan menyentuh apa yang tidak bisa kau perbaiki."
Lucas merilekskan
tubuhnya santai. "Tenang, aku akan membuat semuanya menjadi..." ucapan
Lucas menggantung dengan bersamaan tubuhnya yang menunduk mengambil
sebuah batu dan pyaarr!! "Impas!"
Tyar!!!
"Ups! Tanganku licin." ujar Lucas dengan wajah dibuat semenyesal mungkin.
Brengsek!!
Junior yang awalnya menyesal takut dan berusaha minta maaf, kini berubah memerah menahan amarah.
Tapi apa Lucas peduli?
Dia bisa mendengar pekikan dari kerumunan orang, tapi tidak dia
pedulikan. Biar mereka sadar, seharusnya tidak mencari masalah
dengannya.
Lucas menatap Junior
lagi dan mengeluarkan koin seratus rupiah, diberikan pada junior di
depannya yang tidak bisa berbuat banyak.
"Ganti rugi bengkel. Cukup kan?" Lucas berdehem sebentar dan melihat hasil perbuatannya lalu berbalik.
Cih!
"Jangan karena kau senior jadi kau bebas melakukan apa yang kau mau. Kau pikir kau siapa?"
Lucas berbalik, "Jangan salah. Justru karena aku senior jadi aku bebas melakukan apapun. Dan tunggu, kau sendiri siapa?"
Dengan tubuh yang menjulang tinggi membuat Lucas sangat mudah mengintimidasi lawannya.
"Apa kau cucu pemilik yayasan?" Katanya sambil mendorong kening si tidak tahu diri.
"Apa kau anak orang kaya?" Lagi.
"Apa kau boss?" Lagi.
"Apa karena kau punya ferrari?" Lagi.
"Hei, nak! Apa aku harus
terus melakukan ini biar isi kepalamu mencair?" Kini dengan dorongan
lebih keras membuat junior itu terjatuh.
"Kau!"
"Cukup!" Lantang dan mengganggu. Lucas berbalik.
Gadis itu lagi. Apalagi sekarang?
"Apa yang kau lakukan di sekolah?" Tanyanya galak.
Lucas mengangkat satu alisnya. Anak perempuan yang tingginya tidak melebihi bahunya, bicara galak padanya? Woah.
"Apa kau tidak bisa melihat sampai harus bertanya?"
Gleg! Sial, desis gadis itu.
"Tapi... tapi ini sekolah. Harusnya kau tidak melakukan itu sekolah."
"Lalu harus dimana? Di rumahmu?"
Shit! Titisan apa sih ini anak, desis Ara lagi.
"Apa kau tidak diajari orang tuamu dengan baik?"
Lucas mengatupkan bibirnya kuat.
Berani-beraninya dia. Dia pikir dia siapa?
Mengabaikan junior
begitu saja, Lucas berjalan mendekati mainan barunya yang terlihat takut
dan was-was tapi berusaha untuk ditutupi.
Ara sampai harus
mendongakkan kepalanya saat lelaki kelebihan kalsium tepat berada di
depannya, menutupi matahari dan menyilaukan. Sulit untuk melihat
bagaimana ekspresinya.
Dengan tubuh yang
semakin menunduk, tentu ini bukan hal bagus. Kedua tangan mengunci
bahunya agar tidak bergerak dan terus menatap ke arahnya.
Chup. Singkat. Cepat. Tapi membekas.
"Kau sudah kutandai. Jangan berfikir untuk lari."
Lucas berjalan
menghampiri motornya lagi. Spion sudah hancur, tangki bensin penyok
dengan jeruji dan kabel rem yang sudah mengenaskan.
Mengusap pelan motornya yang seperti mengusap anak anjing dia berdiri dan mengeluarkan ponsel.
"Pulang sekolah bisa jemput sacul enggak?"
"Kenapa lagi?"
"Biasa cidera, diganggu sepupu kuda liar jabrik merah-merah."
Setelah menutup telfonnya. Lucas beralih ke arah kerumunan.
"Puas?" Tanyanya dibalas dengan decakan kesal, heran dan parahnya ada yang kagum.
------------------------------------------------------
"Kau sudah kutandai. Jangan berfikir untuk lari."
Dia gila.
------------------------------------------------------