#5
------------------------------------------------------
"Hai ada apa?"
Kai tersenyum kembali
dan mengusap seragamnya yang kotor akibat pergulatan yang tidak bisa aku
lihat tadi. Masih dengan merangkul dan tersenyum seakan tidak terjadi
sesuatu, dan dengan Luhan yang terus ngedumel tidak jelas dibelakang.
"Berapa lama kalian
menungguku?" Tanyaku mengganti topik karena Kai memang benar-benar tidak
ingin membahas apa yang baru saja terjadi.
"Cukup lama sampai aku menyadari bahwa sekolahan ini cukup luas dan bodohnya aku lupa bahwa kau kutu buku."
"Kalian membuang-buang waktu."
"Itu benar dan tidak
bisa ku bantah." Luhan berjalan terlebih dulu. Tidak ada yang menuju ke
arah mobil Kris yang masih terparkir. Semua keluar sekolahan, melewati
gerbang dengan berjalan kaki. Untukku ini adalah hal biasa, tetapi aku
sungguh tidak tahu dengan dua pria yang membuat siapapun wanita jatuh
pingsan karena pesona mereka.
Kami sampai di sebuah
halte dengan Luhan yang duduk disebelahku, melipat satu kakinya diatas
kaki yang lain dan Kai tetap berdiri tidak jauh dariku, menempel seperti
lem. Tidak bisa kupungkiri, aku masih memikirkan Kris. Bagaimana orang
itu sekarang? Bagaimana dia sekarang? Apa yang terjadi sekarang? Apa
sesuatu hal buruk sedang terjadi padanya sekarang?
Aku terus berfikir
sampai tidak menyadari hanya tersisa aku dan Luhan di halte dengan Kai
berdiri di pintu bus menatap ke arahku.
"Apa sudah siap pergi? Supir ini sudah sangat cerewet." Kai mendesah pelan dengan gaya kekanak-kanakkan yang menggoda.
Luhan berdiri, begitupun
aku. Kami masuk bus dengan banyak sekali tatapan. Oh ya hampir separuh
isinya adalah murid satu sekolahanku. Tidak peduli mau junior atau
seangkatan, jelasnya kami memakai seragam yang sama.
Untuk beberapa aku cukup
terkenal terlihat dari tatapan muak yang siap mengulitiku kapan saja.
Dan lainnya menatap Luhan dan Kai dengan rahang terjatuh dan liur
berceceran. Iuh... menjijikkan.
Aku duduk dengan Luhan
dibelakangku hasil dari merebut paksa pemilik sebelumnya, dan Kai yah
dia sudah seperti lem. Berdiri menggantungkan tangannya memegangi tiang
penyangga dengan tangan satunya meraih punggung kursiku. Menjebak dan
melindungi. Dia semakin posesif.
Seharusnya aku mulai
terbiasa sekarang dengan bisik-bisik tentang mereka yang selalu
denganku, teman-temanku, pria nakalku. Tetapi aku tidak bisa. Entah
menguping atau tersenyum, sedangkan seseorang yang menjadi topik
pembicaraan malah tidak bereaksi apapun. Saat aku mendongak, aku melihat
mata berkaca-kaca seakan memakai kontak lensa milik Kai sedang menatap
keluar jendela. Memperhatikan jalan atau pepohonan atau mobil atau
apapun entahlah. Atau mungkin dia sedang merenung. Tidak ada yang tahu. Jelasnya, dia terdiam dengan tangan yang mencengkeram kuat terasa
dibalik punggungku.
"Kai, ada apa?" Sesaat dia menoleh dan menatapku.
"Apanya?"
Aku juga bisa melihat Luhan ikut menoleh.
"Tidak ada. Lupakan saja." Saat setelah bus berhenti, tempat dimana aku harus turun.
Aku bisa melihat mereka juga ikut turun dan membuntutiku, tapi aku tahan segera.
"Kalian bisa pulang tanpa mengantarku sampai depan rumah."
Mereka tampak keberatan dengan alis-alis terangkat menandakan protes.
"Tidak bisa. Kami akan mengantarmu tepat kau masuk rumah dengan selamat." Kai yang keras kepala.
"Kau tidak dengar perkataan Kris?" Kini Luhan si jenius yang ingat tentang semua hal.
"Tinggal 100 meter dan tidak akan terjadi apapun. Ini rumahku, wilayahku. Kalian tahu itu."
Kai siap protes lagi dan ditahan Luhan. "Baiklah kami pergi. Sampai jumpa esok hari, Hana."
Aku ikut melambai sampai mereka berdua berbelok dan menghilang.
Memang tidak terjadi
apapun. Bahkan aku bersumpah para pembully ku bahkan tidak tahu atau
tidak mau tahu tentang kediamanku. Memang untuk apa juga mereka tahu?
Membullyku di rumah? Oh ayolah. Bully terdengar seperti sebuah pekerjaan
jika mereka sampai melakukannya.
Aku membuka pintu sampai terdengar bunyi menyakiti telinga. Dasar rumah tua. Harusnya aku pindah saja.
"Ya ampun. Apa yang kau
lakukan disini, demi Tuhan?" Aku hampir saja menjatuhkan map-map ku saat
melihat si tubuh tinggi kurus dengan wajah yang lebih muda dariku atau
mungkin dia baby faces? Oh entahlah. Siapa orang asing yang berani masuk
ke rumahku?
"Kau! Siapa kau?" Teriakku dengan payung siap menghunus dan bersentuhan dengan hidung mancungnya.
Dia terkejut seketika apalagi dengan payung yang siap membengkokkan tulang hidung yang menawan.
"Wow.. Wow... ayolah. Apa kau zorro?" Ujarnya dengan kedua tangan terangkat ke udara.
"Kau... siapa kau? Jangan sampai gerakan payungku sebagai pertanyaan ketigaku."
Telunjuk lentiknya menurunkan ujung payungku sambil tersenyum.
"Aku tidak yakin jika kau alasan dia menolak untuk bertunangan dengan gadis yang bahkan sebelumnya tidak dia perdulikan."
"Hah?" Aku tidak bisa tidak untuk melongo dengan apa yang baru saja aku dengar.
Apa orang gila yang
menerobos masuk rumahku? Karena aku tahu, pencuri tidak akan sudi bahkan
sudah jelas rumah reot seperti ini tidak mungkin memiliki barang
berharga. Tapi juga tidak mungkin orang gila berpakaian sebagus bahkan
lebih bagus dari pakaian terbaikku.
"Kau siapa?"
Dia memutar bola matanya bosan.
"Apa kau tidak bisa melihat bahwa wajahku mirip dengan seseorang? Koreksi tentu aku lebih tampan."
Tebak-tebakkan? Tentu
seharusnya ini hal mudah karena aku tidak memiliki banyak orang untuk
aku kenal dan hapal wajahnya. Tapi wajah seperti dia ini. Hanya satu
yang memiliki.. siapa lagi kalau bukan...
"Taeyong.. aku sudah curiga kau akan berkeliaran disini."
Aku berbalik dan Luhan sudah ada di depan pintu menatap tajam seseorang dibelakang punggungku, dan memelukku sekarang.
"Hyung.. bagaimana bisa kau mengencani wanita yang bahkan tingginya tidak lebih dari daguku?"
Sialan! Tapi apa katanya tadi? Hyung?
"Tunggu dulu!" Aku loncat dan lepas dari pelukan si bocah tengik yang tidak tahu sopan santun. "Kalian saudara?"
"Apa wajah kami tidak mirip?" Taeyong atau Taeyang atau siapapun namanya itu mengedipkan matanya dua kali ke arahku.
"Luhan, kau hutang penjelasan padaku."
Kini si imut hanya menghela nafas berat, dengan erangan tertahan melihat apa yang sedang terjadi.
"Dia adikku." Luhan
mengatakannya saat kami sedang duduk berhadapan di ruang tamu, tepat
saat Taeyong berteriak dan mengorek isi kulkasku yang memang tidak ada
isinya.
"Apa kau sungguh tidak memiliki sesuatu yang bisa aku makan?"
"Tidak ada!" Balas teriakku. "Dan cepatlah kau keluar dari dapur ku sekarang dasar kucing garong."
Bagus. Dia penurut.
Entah karena aku atau pengaruh kakaknya disini. Tapi melihat dia sudah
berhasil menyobek bungkus keripik kentang dan menikmatinya sambil
berjalan tentu membuatku ingin sekali melemparkan sandal kena kepalanya.
Bagaimana bisa dia berkata tidak ada makanan yang bisa dia makan bahkan saat dia berhasil mencuri cemilanku.
"Luhan, bisa kau membawa
adikmu ini segera keluar dari rumahku? Aku mohon." Kataku dengan wajah
semelas mungkin. Setidaknya si bocah tengik ini segera menyingkir.
"Taeyong, ayo pulang." Luhan berdiri dan begitupun Taeyong.
"Oh tentu. Aku juga tidak suka tempat ini. Bahkan dia tidak punya makanan enak."
"Hei! Lalu yang ditanganmu itu apa sekarang? Sampah?" Ujarku tidak terima.
"Ya. Dan aku baru saja memakan sampah. Kau harus bertanggung jawab jika aku masuk rumah sakit karena keracunan."
Aku mendesis. Bocah gila ini. Ya Tuhan. Luhan bagaimana bisa memiliki saudara segila dia.
Tapi parahnya Luhan hanya diam saja dan seakan menikmati apa yang baru saja dia lihat.
Taeyong keluar rumah bahkan tanpa berpamitan, meminta maaf karena sudah menerobos masuk dan terima kasih atas snack nya.
"Hyung, aku tidak setuju kau menikahinya."
Bocah gila. Siapa juga yang akan menikah dengan Luhan. Aku justru sangat sangat sangat tidak sudi punya adik ipar sepertimu.
Ternyata ada Kai diluar.
Mereka tampak akrab. Bahkan aku bisa lihat Kai berhigh five dengan
Taeyong sebelum akhirnya masuk mobil.
Yah mereka orang kaya. Kemana-mana tanpa harus mengotori kakinya. Diantar jemput dan pergi kemanapun dengan satu perintah.
Kai tersenyum ke arahku dan aku membalasnya.
Sekarang ini lapisan kehidupan benar-benar telihat nyata. Siapa aku dan siapa mereka.
-----------------------------------------------
Luhan keluar dari
mainannya, si hitam legam. Mobil yang dinaiki kemarin saat keluar dari
rumahku. Kai selalu membukakan pintu untukku. Aku tidak tahu apa dia
takut aku mengotori mainan mereka atau membuat lecet atau mungkin karena
dia selalu melakukan itu, cara memikat hati wanita.
"Kau siap?"
"Tentu siap? Bagaimana dengan wanita kita ini? Siap?"
Aku terdiam sebentar. "Kenapa bertanya? Tentu sangat siap."
Kami berjalan bersama.
Yah, ini yang aku tidak suka. Orang-orang yang awalnya takut dengan wolf
jadi terkesan menggampangkan gara-gara aku.
"Kai, kenapa kau selalu bersama dengan kutu buku?"
"Oh kau..." Kai memutar
matanya geli. "Aku tidak tahu namamu, tapi aku sangat tahu kau tahu
namanya. Jadi panggil dia dengan sopan."
"Kenapa harus?" Balas Kevin.
Tapi Kai mengacuhkannya
bahkan tidak repot-repot untuk mendengarkan dan lebih memilih mengajakku
berbincang tentang apapun. Aku tidak bisa menyembunyikan tawaku.
"Permisi, Kim Jongin. Aku sedang berbicara denganmu saat ini."
Kai menoleh geli. "Hana, kau mengenalnya?"
"Dia Kevin." Balasku tak kalah geli.
"Tapi Kevin, aku tidak
suka berbicara dengan orang yang tidak bisa bersikap sopan dengan
temanku. Jadi berhenti memancing perhatianku."
Sialan!
Beruntung hari ini guru
tidak bisa masuk dengan meninggalkan banyak sekali tugas yang tentu
sudah aku selesaikan kemarin. Disaat orang lain sibuk mengerjakan
ataupun menyalin, aku sudah sibuk dengan tugas selanjutnya. Tetapi kali
ini aku hanya memperhatikan Kai yang bahkan tidak menyentuh tugasnya.
"Apa kau mau menyalin punyaku?" Tawarku.
"Tidak perlu. Aku tidak pernah mengerjakan tugas sebelumnya." Katanya santai.
"Apa kau gila? Kau bisa dapat catatan hitam dan berakhir dengan skors dan bisa dikeluarkan."
"Itu tidak akan terjadi." Kai membalas seakan sudah terbiasa dengan apapun yang terjadi.
"Tapi.. Kai. Kau tidak bisa diskors ataupun dikeluarkan."
"Kenapa?"
Aku terdiam. Kenapa?
"Kau takut? Kau takut dibully? Kau takut sendirian? Kau takut. Kau terkesan..."
"Benar. Aku memanfaatkan kalian. Maafkan aku."
"Kita teman kan?"
Aku menunduk, tidak berani menatapnya. Salah dan takut. Mereka menganggap ku teman tapi aku memanfaatkan mereka.
"Hai.. angkat dagumu." Kai menarik daguku agar menatap matanya.
"Jangan takut. Aku akan
menjagamu dengan sepenuhnya. Bahkan tanpa Kris atau Luhan, aku sanggup
menjagamu sendiri. Berani bertaruh?"
Lidahku kelu. Mata berkaca-kaca milik Kai menghipnotisku untuk semakin mendalami sedalam apa yang bisa aku raih.
"Mari bertaruh. Percaya padaku."
-----------------------------------------------