WOLF #4

1:18 AM 0 Comments A+ a-

#4



 ------------------------------------------------------

Aku menyadari satu hal setelah satu pekan kami bersama. Kris. Hanya pria itu yang paling dekat dan protektif padaku, tapi aku bahkan tidak mengenalnya. Dia sangat tertutup dan tidak banyak bicara. Dia melakukan semuanya dengan tindakan tanpa bicara. Dan ucapan Luhan beberapa waktu lalu yang nengatakan bahwa Kris menyukaiku justru membuatku terus mengamatinya saat bersama. Awalnya Kris tampak biasa saja dan tidak peduli, tetapi lama-lama dia mulai kesal dan menatap tajam kearahku.


Duduk di tribun sendirian menatap mereka yang sedang memantulkan si bundar. Yeah tidak ada yang berani mendekat bahkan untuk mencampuriku ataupun menyapa. Karena secepat kilat, mereka akan mendorong siapapun itu menjauh dariku.


Akan tetapi aku masih tidak yakin apa mereka benar-benar bisa mendorong siapapun dengan posisi aku yang jauh dari mereka, duduk dan tersembunyi.


Aku tidak bersembunyi dari orang-orang yang dulu membullyku, aku tidak takut lagi pada mereka bahkan saat mereka menghajarku atau membuatku jatuh. Tetapi tiga orang itu, wolf. Setelah kalimat Luhan yang konyol dan Kris yang selalu menangkap basah saat aku yang sedang memandanginya, membuatku takut dan khawatir.


Aku menghela nafas berat. Sebenarnya apa yang aku lakukan sekarang? Kenapa aku seperti ini? Luhan hanya menggodaku. Dia pembohong yang baik.


Setelah merapikan beberapa map, aku segera berdiri dan melangkah keluar dengan tidak terlihat oleh mereka. Menyusuri lorong koridor, mengabaikan beberapa orang menuju loker ku.


Jeritan tertahan berhasil lolos sebelum ku tutup mulutku saat mendapat tarikan mendadak dari arah belakang kerah bajuku.


Kris.


"Hai Hana." Kai menyapa dengan riang.


"Aku rasa seharian ini kita belum bertemu." Kini Luhan tersenyum penuh arti.


Aku segera menarik kerahku yang masih dicengkeram Kris dengan mudah.


"Aku sibuk." Belaku pura-pura mengabaikan mereka.


"Yeah tentu, sibuk memandangi dari jauh dan menghilang tiba-tiba."


Aku memutar bola mataku. "Aku tidak melakukan itu. Untuk apa melakukannya?"


"Yeah untuk apa melakukannya? Aku juga tidak tahu. Karena bukan aku yang melakukannya. Mungkin kau tahu?"


Kris.


"Ya. Aku memang menghindari kalian,"gumamku pelan.


"Kenapa?" Kai menimpali dengan cepat.


"Apa karena ucapanku waktu itu?" Kini Luhan memperparah keadaan dengan membahasnya lagi.


Luhan bodoh dengan senyum penuh artinya.


"Memang apa yang kau katakan padanya? Kau mengancamnya?"


Oh Kai jangan membahasnya.


"Tidak. Aku hanya bilang kalau ternyata.... bft...bf.."


Tanganku sudah membekap mulut cerewet si imut sialan ini. Bisa-bisanya dia membeberkan kebohongannya bahkan di depan Kris. Sialan.


"Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan?"


"Tidak ada." Kataku cepat.


Mereka bertiga menatapku tajam.


"Baiklah. Bisa kita lupakan ini? Meskipun aku berusaha menghindari kalian tapi hasilnya tetap kalian pasti akan menemukanku."


"Lalu kenapa mencoba jika sudah tahu?"


"Aku takut menyusahkan kalian. Dan kita berbeda. Aku dan kalian semua. Kalian memiliki semua yang kalian mau. Kalian punya popularitas dan kekuasaan. Kalian.. dan aku. Aku hanya penghambat. Popularitas kalian akan menurun. Kekuasaan kalian kalian akan dipandang sebelah mata karena aku. Dan aku bukan boneka yang kalian jaga."


Kris mendengus. "Itu hal terbodoh yang pernah aku dengar."


"Tidak!" Bantahku cepat. "Kalian tidak mengerti."


"Kau yang tidak mengerti, Hana!" Kris membentak dengan keras sehingga mampu membuat siapapun yang diam-diam mencuri dengar sejak tadi kini sudah mengamati dengan penasaran.


"Boneka? Apa pria seperti kami bermain boneka?" Kini Kai yang bicara.


Oh aku mohon. Aku tidak bermaksud melukai harga diri mereka.


"Oh maafkan aku. Tolong jangan masukkan ke dalam hati," sesalku.


"Hana, tentu aku sudah memikirkannya semua ini sebelum kami ambil langkah." Luhan menatapku datar sebelun menunduk untuk benar-benar melihatku.


"Apa yang kau takutkan bukanlah hal yang penting bagi kami. Semua itu sudah melekat dalam diri kami. Kau tahu kan, tidak ada yang menolak Wolf."


"Sebenarnya...." aku menghembuskan nafas, bimbang antara mengatakannya atau tidak. Kris sudah membuang wajahnya tidak lagi menatapku dan Kai lebih memilih menatap lantai marmer putih gading atau sepatunya, entahlah.


"Katakanlah!" Luhan tersenyum.


"Aku tidak pernah memiliki teman sebelumnya. Aku tidak tahu apa yang akan kita lakukan nanti sebagai teman. Apa itu jalan-jalan bersama atau apapun, aku tidak tahu."


Sulit dari dugaanku Luhan tertawa.


"Hei.. Hana. Apa kau fikir kita terlahir di dunia ini langsung memiliki teman? Itulah kenapa ada adaptasi. Kau harus terjun dan merasakannya dan biarkan itu berkembang secara alamiah. Dan maafkan si tempramental Kris dan juga si sensitif Kai."


Aku mengangguk. "Maafkan aku juga."


Luhan mengacak rambutku gemas. "Kau tahu, awalnya kami juga bukan teman. Kami bertemu dan terpaksa menjadi teman. Kami saling berbenturan dan terluka."


Aku mengerutkan kening, kurang mengerti dengan perkataan Luhan.


"Lupakan saja!"


Kai melingkarkan tangannya ke leherku. Aku bersyukur dia sudah bersikap biasa dan kembali menjadi sosok menawan berjalan menggiringku. Luhan berlari mensejajarkan tubuhnya disisi lain sebelahku. Menunduk dan berbisik, "Kau tahu, Hana. Kris begitu labil saat kau terus menghindari kami. Dan aku semakin yakin kalau dia jatuh cinta padamu."


Berhenti kembali menjadi menyebalkan, Xiu Luhan!


Kai yang mendengarnya hanya mengangkat ujung bibirnya dengan aku yang terus berusaha menghajar si sialan berubah manis menjadi menyebalkan.


Aku melihat kebelakang, Kris mengikuti langkah kami dengan pelan. Wajahnya selalu datar dan membosankan. Berlari kearahnya dan merangkul lengannya, menariknya agar berjalan lebih cepat.


"Hei.. sopir kita ketinggalan."


Dia tersenyum sedikit, hanya beberapa detik. Aku senang melihatnya.


 ------------------------------------------------------


Perpustakaan.


Tempat ternyaman di muka bumi ini. Bahkan mungkin bisa jadi tempat ternyaman dan paling nyaman daripada rumah reotku atau kamar sumpek ku. Tempat dengan buku-buku yang sudah seperti makanan yang selalu membuatku kelaparan ingin segera menyantapnya semua.


Duduk fokus dengan bacaanku, bolpoin dan note kecil yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Mereka sudah seperti sendok dan garpu, alat yang aku pakai untuk menyantap makanan lezat ini sebelum di proses oleh otakku.


Aku setuju saat orang bilang bahwa waktu akan berlalu dengan cepat saat kita melakukan kegiatan yang kita sukai. Dan waktu tiga atau empat jam bukanlah waktu yang lama bagi mereka yang bilang perpustakaan adalah tempat yang membosankan. Bahkan jika diperbolehkan, aku ingin tinggal saja disini dengan buku-buku untuk ku baca. Ups! Lebih tepatnya untuk publik, tapi aku paling rajin diantara anak-anak rajin. Jadi inilah hidupku. Si kutu buku.


"Hallo Hana."


Aku hampir saja mencoret catatan ku dan menjadi hal yang tak berguna saat serangan shock dari suara si menawan Kai duduk dengan seluruh kakinya diatas kursi menopang dagu dan tersenyum tanpa merasa bersalah sudah mengacau kesenanganku.


Oh tentu. Dia tidak sendiri. Dengan dua lainnya. Kris yang duduk sambil mengetuk-ngetuk meja bosan. Kaki panjangnya harus dilipat sedemikian rupa agar bisa masuk dan bersembunyi dibalik meja atau bisa melukai siapapun yang kebetulan lewat. Yeah meskipun kemungkinan kecil akan ada seseorang yang melewati mereka. Luhan berdiri bersandar rak dengan buku ditangan, fokus dan tidak memperdulikan ku. Dia si cerdas yang terkadang menyebalkan. Aku bisa melihatnya sangat mudah membalikkan lembar buku dengan jempolnya. Benar-benar sosok yang cerdas.


"Hana!" Kai menyapaku lagi agar kembali fokus ke arahnya.


"Apa yang kalian lakukan disini?"


"Kami hanya ingin melihat bagaimana Hana hidup di habitatnya. Benar-benar surgawi. Bahkan aku bisa melihat kau menggelengkan kepalamu seakan sedang mendengarkan lagu. Tapi aku berani bertaruh mobil Kris, bahwa kau sedang tidak mendengarkan lagu."


Kris berdecak kesal mendengar celotehan Kai.


"Wah sayangnya kau beruntung. Aku sedang tidak mendengarkan lagu. Tapi aku membuat lagu sendiri di telinga ku." Aku terkikik geli.


"Ya aku tahu. Kau jenius yang menyenangkan." Lagi Kai tersenyum. Dia orang yang paling sering tersenyum saat denganku.


"Dan maaf Hana. Bisa kau segera keluar dari tempat ini? Ayo bermain dan makan atau apapun. Aku bisa tidur jika lama-lama disini karena begitu hening."


Aku mengangguk. Merapikan buku dan map ku, mengembalikan buku-buku tadi pada tempatnya semula. Dan saat aku sudah siap, mereka sudah berdiri menunggu ku dengan Kai mengeluarkan sekotak susu dari saku menempelkannya pada pipi ku.


"Aku tahu kau belum makan atau minum apapun sejak tiga jam tadi."


Aku meraihnya dan menyobek di ujung. Sudah tidak dingin. Dan mungkin mereka sudah duduk sejak tiga jam tadi tapi aku tidak menyadarinya.


"Kau ingin kita kemana?" Kris bertanya. Oh akhirnya aku mendengar suaranya juga. Sejak tadi dia hanya diam. Yeah. Dia memang selalu diam. Tetapi entah kenapa sekarang dia jauh lebih pendiam. Apa sedang ada masalah?


"Pulang?"


"Oke." Ucap mereka kompak.


Parkiran sudah sepi. Tinggal beberapa belokan lagi kita akan bertemu dengan si kuda jingkrak merah menyala.


Aku menelan teriakanku saat Kris buru-buru mundur membuat kotak susu yang baru berkurang setengah mengotori kemeja kotak-kotakku sebelum akhirnya jatuh ke tanah.


Apa ini sedang shooting film action? Kenapa banyak sekali pria berpakaian hitam mengepung dan memutari kami. Aku terdiam ditengah diantara mereka yang berusaha melindungiku.


Sebenarnya apa ini?


"Kai.."


"Kita bermain dulu ya, Hana? Tutup matamu jika takut."


Sudah tidak ada pilihan lain. Aku menutup mataku, sungguh tidak tahu apa yang sedang terjadi. Entah aku terlalu bodoh atau terlalu mempercayai mereka. Tidak ada pilihan lain.


Tubuhku melayang dan terlempar kesana kemari dengan berakhir ditangkap dengan  mulus oleh yang lainnya. Aku bisa mendengar setiap bisikkan memintaku tenang saat aku jatuh kedalam pelukan mereka.


Apa sudah berakhir?


Aku membuka mata dengan Kris yang berdiri di depan ku. Kai dan Luhan sudah tumbang. Lebih tepatnya tidak bisa bergerak lagi. Tersisa Kris dan aku.


"Apa yang kalian inginkan?"


Aku meraba seragam Kris mencari pegangan sampai berakhir dengan genggaman erat.


"Kami tidak akan melakukan hal buruk jika Tuan menurut sejak awal."


Ada apa?


Kris berbalik dan menatapku. Benar-benar menatapku dan menggenggan tanganku.


"Jangan pergi kemanapun sendirian. Selalu bersama Kai dan Luhan. Mengerti?"


Aku mengangguk begitu saja seakan terhipnotis.


Kris melepas genggaman tangannya dan pergi diikuti mereka semua. Kai dan Luhan sudah terbebas.


"Inilah kenapa aku tidak menyetujuinya dulu." Celetuk Luhan tiba-tiba.


"Ada apa?"


Tidak ada yang menjawab.


"Kita pulang sekarang." Kai menarikku begitu saja tidak berkenan untuk menjawab pertanyaanku.


--------------------------------------------------



Hai \m/ Omega here. Glad to know you guys. Enjoy with me OK!!