L U C A S #10
#10
------------------------------------------------------
Ara POV
Hancur. Dia
menghancurkan ponselku. Itu berarti dia menghancurkan hatiku juga. Aku
tidak lagi peduli ataupun takut. Lucas sudah keterlaluan. Dia jahat dan
tidak tahu aturan. Dia hidup seakan dia bisa memiliki semua apa yang dia
mau tanpa pernah berfikir bagaimana perasaan orang lain. Dia berfikir
dengan dia mendapatkan semuanya, orang akan diam saja? Akan pasrah?
Sebenarnya dia polos atau tidak tahu apa-apa tentang perasaan orang
lain? Apa dia hidup sendiri di dunia ini? Apa dunia ini miliknya? Kenapa
dia begitu arogan dan menjijikkan. Aku membencinya.
Teeet.... teet... teet...
Bel pulang sekolah
menyadarkanku dari kegalauan dan rasa muak yang menggunung minta
ditumpahkan. Air mata berkumpul, pecah jatuh. Aku menangis. Aku membuang
air mataku untuk orang yang tidak berharga. Brengsek!
Seseorang mengusap
punggungku berdiri di depan menutupi dari tontonan teman sekelasku yang
mungkin sudah saling berbisik bertanya kenapa dan muncul dugaan-dugaan
asal lalu disebarkan ke seluruh kelas. Biang gosip. Menyebalkan.
Suara langkah mendekat. Langkah yang ku kenal. Langkah dari seseorang yang sangat ingin aku cakar wajahnya.
"Kak Lucas sudah puas?" Bentak Freya berani.
Tentu Lucas berlalu begitu
saja dan menyingkirkan Freya agar menjauh dariku membuat semua orang
menahan nafas. Hampir Freya jatuh menabrak meja kalau saja Aditya tidak
segera menangkap tubuh mungilnya.
"Kau kenapa?" Bisik Lucas.
"Menurutmu kenapa?"
Tajam. Menusuk. Aku bisa melihat dia terkejut melihat tatapanku yang
tidak biasanya. Meskipun banjir oleh air mata, aku benar-benar muak
dengan orang di depanku.
"Apa karena ponsel itu? Aku akan menggantinya. Aku akan membelikannya untukmu."
"Kau pikir aku pengemis, hah?"
Lucas membelalak sesaat, "Apa maksudmu?"
"Seharusnya aku yang
bertanya seperti itu. Apa maksudmu? Kau kenapa? Kau siapa, ha? Kau pikir
kau siapa?" Tanyaku dengan suara meninggi mengejutkan semua orang.
Lucas tampak menatap
salah satu temannya dan dibalas anggukan kepala, lalu menutup kelas
hanya menyisakan aku, Freya dan dua orang temannya.
"KAU!!" Tunjukku tepat
di depan matanya. "Apa kau menyukaiku? Apa kau jatuh cinta padaku? Apa
kau menginginkanku? Apa ini caramu nendapatkan apa yang kau mau ha?"
Lucas tertegun dan
mundur. Apa yang disaksikannya kali ini bukanlah kemarahan ataupun
penolakan. Ini histeria. Dan itu karenanya.
"Tidakkah kau pikir aku
juga punya hati ha? Aku punya perasaan yang tidak bisa kau atur, kau
kendalikan atau kau paksa. Aku pemiliknya bukan KAU! Apa menurutmu tidak
masalah jika memaksakan apa yang kau mau dan nenyiksaku? Manusia jenis
apa kau ini Lucas? Apa salahku? Kenapa kau melakukan ini padaku? Aku
ingin hidup normal dan jatuh cinta dengan seseorang yang ku cintai."
Kembali jatuh. Aku
hancur. Dia menghancurkan hatiku. Aku lelah dengan semua ini. Aku ingin
pindah. Aku ingin hidup tenang. Aku tidak ingin bertemu dengan pria ini
lagi.
Lucas mendekat, segera aku beringsut mundur kembali menatap tajam. Tatapan terluka dan benci.
"PERGI KAMU PERGI!!! PERGIIIII!"
Lucas kembali mundur. Diam. Hanya menatap si mungil yang masih menatapnya benci.
"Freya, antar dia pulang."
Freya yang baru sadar
dengan apa yang dilihatnya dan kasihan dengan teman sebangkunya segera
melangkah menuju kearah dan memelukku erat. Mengusap pelan bahuku
mencoba nenenangkanku.
Aditya dan Dareen menatap Lucas dengan ekspresi bingung, karena tidak biasanya Lucas bersikap lunak.
Aku tidak segera pergi meski Freya terus menarik tubuhku untuk berhenti menatap benci pada Lucas.
Membekukan Lucas. Sementara sari jauh Aditya tak kalah tertegun menatap sepasang mata yang sarat percik kebencian.
AUTHOR POV
Kembali Lucas merasakan
perasaan frustasi yang mengoyak hatinya. Perasaan ditolak dan tidak
diinginkan. Sesuatu yang kuat, menyakitkan dan menghancurkannya. Karena
rasa inilah yang telah memicunya untuk mematikan dirinya sendiri.
Setelah Ara pergi
menjauh menyisakan dirinya yang masih terdiam berdiri membeku mengingat
histeria yang baru saja dia lihat. Bagaimana orang yang sangat dia
inginkan, tidak sekalipun pernah menginginkannya bahkan terluka
karenanya.
Perlahan dia menghembuskan nafasnya berat. Lalu membalikkan badan melihat dua temannya yang masih menunggunya khawatir.
"Luc?" Dareen takut kenapa-kenapa dengan temannya satu ini yang diam saja bahkan saat menyusuri koridor kelas.
Sesampainya di kelas,
dia mengambil jaket dan dipakainya lalu keluar lagi tanpa berbicara.
Kebetulan teman-temannya yang masih di kelas dan tidak tahu apa-apa
hanya menatap heran.
Tidak dengan Hazel. Dia segera bertanya pada Dareen sesaat setelah Lucas keluar dari kelas.
"Dia kenapa?" Tanyabya khawatir.
"Bahaya, Zel! Hah seharusnya kau tadi ada disana." Bisik Dareen frustasi.
Hazel mengerutkan kening dan menatap Aditya yang hanya mengangguk.
"Sebenarnya ada apa?" Hazel masih tidak mengerti.
Ting! Sebuah pesan masuk.
Maaf. Aku rasa kita tidak bisa pulang bersama. Aku ada sedikit urusan. L.
Hazel segera memasukkan
kembali ponselnya begitu saja setelah membacanya. Dia tidak punya alasan
untuk kepo kenapa dan urusan apa. Dia harus sadar, dirinya siapa dan
tidak akan menjadi apa-apa.
"Dari L?" Kini Aditya yang bertanya.
Hazel mengangguk. "Tidak penting! Cepat katakan ada apa?"
Aditya dan Dareen saling pandang sebelum menceritakan kejadian tadi pada Hazel.
Lucas berjalan menuju
parkiran sampai matanya bertemu sosok ringkih yang berdiri saja bisa
ambruk jika tidak ada tangan besar merangkulnya lalu mengangkat tubuh
itu masuk mobil.
"Sejak kapan kau bermain belakang seperti ini, L?" Gumamnya pelan.
------------------------------------------------------
L POV
"CUKUP!! KELUAR DARI RUMAH INI!!"
Aku baru melangkah masuk
saat mendengar teriakan dari lantai atas. Bibi pengurus rumah datang
terburu-buru saat melihatku datang. "Mas Lucas... Mas Lucas bertengkar
sama Bapak lagi, Mas Leo."
Aku terbelalak seketika.
Sial! Soal apalagi ini. Kenapa mereka tidak bisa diam saja dan hidup
tanpa bersinggungan dengan urusannya masing-masing. Tenang seakan tidak
ada kehidupan daripada membuat suasana ramai dan memanas seperti ini.
Kakiku terhenti melihat
ke dalam dari celah pintu yang sedikit terbuka. Sosok yang sama persis
berdiri di depan seorang pria paruh baya dengan amarah yang meluap dan
tamparan keras mendarat menyakiti satu sisi wajah si jangkung nyaris
roboh.
Kaki ku membatu, ku palingkan wajah miris tidak mampu melihatnya.
"KELUAR KAU DARI RUMAHKU!! AKU TIDAK SUDI MELIHATMU! AKU BISA MATI JIKA KAU TERUS-TERUSAN BERADA DISINI!"
Lucas.. suara langkah
mendekat dan membuka pintu di depanku. Tidak ada perasaan terkejut
seperti yang aku alami. Wajah yang memar dengan bibir robek. Dia tidak
merasa kesakitan, atau mungkin ditahan. Belum sempat aku meraih
tangannya untuk bertanya ada apa, dia sudah berjalan menuruni tangga
begitu saja.
"Lucas, kau mau kemana?" Tanyaku pelan. Dia sedang kalut. Aku tidak mau dia berbuat hal yang merugikannya nanti.
"Apa kau mau ikut?"
Dia tidak marah. Dia menawariku?
"Jaga saja Ayah. Dia lebih membutuhkanmu. Aku pergi dulu. Jangan cari aku."
Pintu tertutup tanpa
dibanting seperti biasa. Segera aku merogoh saku celanaku mencari benda
persegi tipis dan mengetuk layarnya.
"Lucas sedang kalut. Ikuti dia. Baru keluar dari rumah."
Hening beberapa saat.
"Jaga dia. Aku percaya padamu."
Segera ku tenggelam kan ponselku ke dalan saku dan membuka pintu lebar menampilkan sosok tadi sedang duduk membelakangi ku.
"Mau apalagi?"
Aku menghela nafas. "Ini L, Pa. Papa sudah makan siang?"
"Oh kau. Nanti. Ada yang masih Papa kerjakan."
Aku mengangguk. "Papa jika ada masalah di kantor, jangan dibawa ke rumah. Kami tidak tahu apa-apa. L permisi."
Mundur dan kembali menutup pintu. Bersandar dan jatuh.
Apa yang salah dengan
keluarga ku? Kenapa seperti ini? Kenapa semua hancur seperti ini? Aku
rindu Papa yang hangat dan peduli. Aku rindu Lucas yang lucu dan tidak
emosional. Aku rindu mama.
Aku iri, benci.
Ini rumah. Tempat kembali. Tapi besar dan kosong. Sibuk dengan urusannya masing-masing. Tidak peduli, acuh dan dingin.
Apa yang salah dengan
keluarga ku? Cinta? Kasih sayang? Kehangatan? Kenapa kami tidak
mendapatkannya? Apa ini kutukan atau cobaan?
------------------------------------------------------
Merah..
Kuning...
Sebentar lagi..
Langkah kaki menapaki
zebra cross saat jalanan padat oleh roda-roda saling meraung
terburu-buru. Umpatan, cacian, suara klakson memekakkan telinga tidak
bisa menghentikannya. Sampai sebuah tangan menariknya ke pinggir,
terjatuh.
"Apa kau gila hah? Kau mau mati?"
Dia.. dia.. gadis itu.. kenapa kau lagi..
------------------------------------------------------