L U C A S #7

11:51 PM 0 Comments A+ a-

#7


 ------------------------------------------------------

Lucas melangkahkan kakinya ke sofa depan tv. Tangannya masih sibuk berkutat dengan games Onet 2016 yang cukup membuatnya geregetan, bukan action ataupun adventure tapi puzzle. Mungkin karena kapasitas otaknya yang minim jadi dia masih kebingungan buat cari gambar yang sama.

Ah~ pantatnya mendarat mulus di sofa. Sambil menyilangkan kedua kakinya, dia masih sibuk dengan ponselnya. Sampai sebuah suara yang membuat mood nya kembali berantakan.

Dia tidak pernah suka dengan suasana rumah yang hangat. Lebih tepatnya dia tidak suka dengan papa nya. Entah kenapa dia membenci beliau setengah mati. Di dalam hatinya dia muak dengan apapun, semuanya yang papanya katakan dan lakukan. Karena.. Lucas kurang.

Entah ini kenyataan yang pahit sehingga membuatnya terluka atau karena dia tidak mau menerimanya, dia menolak mengakuinya.

Lucas anak yang kurang. Kurang ajar, kurang perhatian, kurang pintar, kurang disiplin, dan kurang lainnya.
Sekuat apapun dia berubah, sehebat apapun dia sudah lakukan, papa tidak pernah melihatnya. Tidak tahu kenapa. Papa hanya melihat seluruh kekurangannya, kenakalannya, ketidak disiplinannya.

Jujur itu membuat Lucas capek. Lucas capek berusaha jadi baik sehingga bisa dibanggakan jika pada akhirnya papanya tetap tidak bisa melihatnya. Dia sudah berusaha jadi ketua kelas, ikut organisasi OSIS, mendapat rankink, ikut lomba non akademik. Tapi, tetap saja setiap papa marah, beliau tidak pernah memandangnya sebagai anak yang berguna.

Selain Ibu, dia juga ingin diakui. Dia ingin orang lain melihatnya. Dia tidak ingin dilabel dari kenakalannya. Dia memang nakal, pernah nakal. Tetapi saat dia sudah berubah ternyata label itu tidak hilang. Dia tetap dianggap anak yang nakal, anak yang payah, anak yang tidak berguna, anak yang hanya bisa merepotkan, parasit.

"Bukannya belajar, kau justru main game. Mau jadi apa kau ini?"

Lucas mendengus, mencoba mengabaikan.

"Lihat L. Dia belajar karena besok ulangan. Sedangkan.."

"Pa," tukas Lucas kesal. "Aku dan L itu beda. Kita beda kelas."

"Tapikan.."

"Maka dari itu perhatian sedikit lah. Ambil raportku juga saat kenaikan kelas."

"Buat apa? Yang ada buat malu. Karena isinya merah semua."

"Tahu darimana? Belum pernah melihatnya kan?" Lucas mengantongi ponselnya dan berjalan menuju ke kamar.

"Oh ya.." katanya ditengah perjalanan. "Papa juga tidak tahu kan kalau salah satu piala di rak piala L juga ada piala ku?"

Boom!

Lucas tersenyum sinis. "Tidak perlu tahu. Tidak penting kok."

L memang dikamar sedang belajar. Terkadang dia juga benci dengan L yang hidup teratur, bukan karena dia ingin saudaranya itu juga berantakan sepertinya, tetapi dia tidak suka melihat L hidup seakan tidak terjadi apa-apa, tidak ada yang berubah. Selain sikapnya yang menjadi super dingin.

Sesekali dia peduli dan menjadi manusiawi. Tetapi tidak bertahan lama. Dia akan kembali menjadi robot.

"L!"

"Hm.." balasnya tidak berusaha menatap Lucas.

"Masih lama?"

"Ada apa?"

"Tidak! Lupakan."

Lucas beringsut ke kasur dan membelakangi L, saat itulah L menatap punggung yang tampak lelah. Kokoh tapi mudah rapuh. L bukannya tidak mengerti dan bodoh membaca situasi, tetapi dia tidak mau memperumit keadaan. Dia tidak ingin selamanya hidup dalam pemberontakan. Memberontak pada Papa yang sudah tua. Sudah cukup dia kehilangan sesosok ibu yang membawa seluruh kehangatan dalam rumah dan hatinya. Dia juga tidak ingin membuat rumit isi kepala pak tua sehingga membuatnya sakit-sakitan dan pergi dengan cepat.

Biarkan Lucas yang melakukan semuanya, sehingga dia diam dan tak melakukan apapun.

Disini semua salah. Semua egois. Semua jahat.

Papa yang tidak menunjukkan perhatiannya sedikitpun dan seakan melupakan segalanya. Ditambah tidak bisa membaca tingkah Lucas yang berusaha mendapat perhatian. Lucas yang salah karena hanya terus memberontak dan memupuk dendam sebanyak-banyaknya menganggap semua ini kesalahan papa. Dan L yang hanya diam saja. Terlalu cuek. Terlalu dingin dan tidak peduli, hanya mementingkan dirinya sendiri.

Komunikasi? Amat sangat jarang. Hal yang sangat dibutuhkan justru sangat jarang untuk dilakukan. Komunikasi secara baik-baik dengan kepala dingin terlalu sulit. Pasti, ada saja alasan yang membuat mereka saling bertengkar dan memaki satu sama lain.

Rawan. Retak. Hancur.

Semua hancur.

 ------------------------------------------------------

"Pagi L"

L mencari sumber suara itu. Dia berbalik dan mendapati seorang gadis berjalan menghampirinya. Secara otomatis, dia merangkul tubuh gadis itu dan memberinya kecupan singkat di kening. Bukan apa-apa. Dia hanya senang melakukannya. Dan juga terlalu sering mendapat decakan iri dari orang-orang disekitarnya.
Para gadis yang iri dengan Hazel dan para pria yang iri dengan dirinya.

L dan Hazel tumbuh bersama. Dia mengenal Hazel saat sekolah dasar. Saat Lucas yang terlalu sibuk dengan anak laki-laki dan dia sendiri dengan buku. Dia bukan anti sosial, hanya tidak suka dengan keramaian. Kurang nyaman. Lalu saat itu ada seorang gadis cantik berkuncir dua panjang menyapanya dan tersenyum manis.

L bukan tipe yang ramah dan memberikan senyum secara murah. Jadi dia hanya memandang dengan tatapan datar. Hazel si keras kepala. Bukannya menghindar, gadis itu justru semakin gencar mendekati membuat L risih juga. L terus bersikap ketus sehingga gadis itu menyingkir dan membiarkannya kembali sendirian dengan buku, tetapi memang dasar si kepala batu tetap saja dia berusaha mengajak L bicara.

Sampai pada akhirnya L secara tidak sengaja menepis tangan Hazel kecil hingga membuat gadis itu terjatuh dan hampir menangis. Lucas langsung mendorongnya hingga L juga terjatuh. Saat itulah karena tak enak hati, dia mendekati Hazel dan mereka menjadi teman sampai detik ini. Tetapi ternyata ada yang dia lupakan, lebih tepatnya sering dia abaikan.

Pertemanan pria dan wanita itu hanyalah mitos. Karena pada akhirnya salah satu dari keduanya akan jatuh cinta dengan yang lain entah itu di waktu kapan. Untuk sementara ataupun selamanya.

L yang terlalu sayang dengan Hazel, sikapnya yang terkesan mengistimewakan Hazel dan hatinya yang tidak berubah membuatnya lupa bahwa Hazel juga memiliki hati yang rumit, yang tak mungkin sama dengannya.
Saat itulah, dia menyadari Lucas yang menyukai Hazel dari tatapannya dan Hazel yang menatapnya dengan tatapan sama.

Dan dia? Tidak bisa berbuat apapun. Dia tidak bisa menolak dan menepis perasaan Hazel begitu saja, begitu kejam. Dia tidak ingin menyakiti Hazel. Tetapi sungguh sangat menyiksa jika Hazel terus menyimpan dirinya di dalam hati.

Sampai pada akhirnya dia menyerah. Dia memilih berpura-pura tidak mengerti. Pura-pura tidak tahu. Egois? Dia ingin situasinya tetap seperti ini. Sama.

Friendzone.

"Kau akhir-akhir ini sering tersenyum."

"Oh ya?" L tertawa kecil.

"Tuh.. bahkan bisa sampai tertawa. Ada apa?"

L menggeleng, lalu mulai berjalan dengan Hazel disampingnya. Mereka beda kelas. Hazel satu kelas dengan Lucas dan juga Dareen. Sedangkan dia beda sendiri. Tidak masalah untuknya.

Mereka berjalan menyusuri koridor bersama. Semua mata menatap setiap langkahnya. Terlalu biasa, dia sudah sering mendapat tatapan seperti itu. Awalnya risih karena orang-orang tidak bisa menatapnya seperti biasa, bersikap seperti biasa, berbicara seperti biasa, tidak seperti saat berbicara dengan Lucas. Untuk orang seangkatan, siswa siswi tidak ada yang takut dengan Lucas. Toh mereka seangkatan, buat apa takut. Tapi ada juga yang sudah mendapat bogem mentah, langsung mundur teratur jika bertemu dengan Lucas.

L berdiri di depan kelas Hazel. Lucas ada di dalam sedang duduk di meja menghadap Dareen, lalu mengangkat tangannya saat tahu ada L di depan. L hanya mengangguk dan menyuruh Hazel masuk lalu bergegas menuju kelasnya.

Pelajaran pertama dimulai. Bukannya siap-siap berdoa memulai pelajaran, justru Lucas melenggang keluar kelas dengan santai saat guru masuk kelas.

Biasa.

Tujuannya kali ini adalah lapangan basket out door. Hari ini kelasnya Ara pelajaran olahraga. Dan dia tahu pasti sekarang lagi basket, karena Pak Yoto, guru yang biasanya mengajar olahraga ambil cuti libur karena urusan keluarga.

Dengan kemeja yang berkibar-kibar saat diterpa angin, Lucas berdiri di pinggir lapangan mencari sosok yang dia cari.

Siswa laki-laki lebih memilih main bola dan beberapa siswi yang mungkin punya sindrom vampire takut matahari memilih duduk leha-leha dipinggir lapangan dekat pohon rindang. Dan beberapa lainnya sedang main bola basket, entah dribble, shotting, atau malah yang enggak waras dipakai sepak bola.

Lucas menemukan sosok itu sedang berusaha melakukan shot, tapi selalu gagal. Payah.

Shot saja tidak bisa.

Ara mendrible bola basket sebentar dan masih fokus menatap ring. Harus masuk. Pasti berhasil.

Dan shot!!

Bukannya bolanya yang melayang tetapi tubuhnya yang naik ke atas.

Dia melongo kebawah, sosok dengan senyum jahil sedang mengangkat tubuhnya.

"Masukin dong! Masa diam aja."

Bola terlepas begitu saja dan Ara berontak.

"Apaan sih kak. Lepas dong!"

Sekarang mereka sudah jadi pusat perhatian. Ih malu-maluin.

Tetapi aksinya justru membuat Lucas hampir kehilangan keseimbangan.

"Yee jangan gerak-gerak dong. Kalau jatuh kan sakit."

Dih modus.

"Maka dari itu turunkan aku sekarang!" Ara sudah manyun, tanda ngambek.

"Cium dulu!" Kata Lucas sambil memonyongkan bibirnya.

"MODUS BANGEEEETT!!!"

Lucas tergelak lalu memutar tubuh Ara sehingga membuat Ara memegangi kedua bahu itu dengan erat.
Jika orang yang melihatnya mungkin ini adegan romantis yang biasa ada di film india, tapi apalah karena ini Lucas yang melakukan justru tidak ada yang berani menanggapi.

"Kakaaaak!!"

Ara sudah siap mau menangis, dia bukannya takut ketinggian. Tetapi diputar-putar membuatnya mual juga.

"Kalau nangis, ada bonus pelukan lho." Lucas tersenyum manis.

Ara mengusap matanya justru membuat keseimbangan seketika runtuh. Tubuhnya jatuh sesuai gaya gravitasi, tetapi tidak merasakan apapun.

Lucas ada dibawahnya sebisa mungkin berusaha membuat tubuhnya tidak membentur lapangan kasar.

Terdiam sebentar masih dalam keterkejutannya, justru dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Lucas menggeser tubuhnya dan tidur dengan posisi menyamping dengan lengan menyangga kepala Ara agar tidak berbenturan langsung dengan aspal. Dan satu tangannya memeluk tubuh itu.

"LUCAAAASS!!"

Shit! Bu Endang.

"Udah dulu ya pelukannya. Ada yang iri sama kita tuh." Ucapnya dengan nada selembut sorot kedua matanya.

Teman-teman Ara yang kebetulan melihat langsung klepek-klepek. Iri meeen. Dipeluk Lucas yang anti bersentuhan sama cewe dan di tatap seperti itu serasa buat orang mabuk kepayang.

Tapi tidak bagi Ara. Saat itulah dia tersadar, mendorong tubuh Lucas menjauh dan langsung berdiri melihat Bu Endang dengan wajah galaknya berjalan mendekat.

Dia tidak tahu bagaimana wajahnya saat ini. Freya yang sejak tadi hanya diam saja menghampirinya dan membawanya menjauh.

"Sedang apa kamu disini?" Dipandanginya Lucas dengan sorot mata dingin.

"Ngajar Ara basket, Bu." Jawab Lucas santai seperti biasa.

"Kenapa kamu?"

"Kan biar tidak bosen, Bu. Masa yang ngajar orang tua mulu. Sesekali daun muda gitu."

Teman-teman Ara seketika menganga. Mereka memang tahu reputasi cowok satu ini di sekolah, tetapi tidak menyangka bahwa sekarang melihat secara langsung.

Bu Endang sudah kaku siap menumpahkan amarahnya melihat salah satu anak didiknya yang tidak tahu aturan ini.

Tapi cukup sampai sini. Lucas enggan memperpanjang yang nantinya jadi tontonan gratis dan memberi contoh yang tidak baik bagi adik kelasnya. Dia tersenyum dan segera pergi setelah membungkukan punggungnya memberi hormat pada Bu Endang.

Ara masih bisa melihat wajah Lucas yang menatap kearahnya. Sambil menggerakan tangannya membentuk pistol dan seakan menembaknya, Lucas menghilang dibalik tikungan.

Sejak itu, dia memupuk benci dengan Lucas. Tidak peduli mau senior, trouble maker atau apalah itu. Kalau Lucas cari masalah ya hadapi. Lagi pula pencitraannya jadi gadis nerd yang coba dia bentuk saat pertama kali masuk sekolah ini sudah hancur gara-gara Lucas. Ceramah dari Bu Endang dan guru-guru yang terus menyalahkannya karena berteman dengan Lucas membuatnya semakin membenci Lucas.

Ditindas? Sorry ya. Lucas bukan siapa-siapa. Dan Ara tidak akan membiarkan dirinya dijadikan boneka mainan Lucas.

Dan untuk kejadian kemarin di mobil L, mungkin itu siasat Lucas biar bisa mengaturnya. Bodoh!

"Perang? Ok!"

----------------------------------------------


Hai \m/ Omega here. Glad to know you guys. Enjoy with me OK!!