L U C A S #2
#2
------------------------------------------------------
Wajah baru tapi tidak asing. Kacamata baca yang masih bertengger di hidung mungilya hampir melorot. Lucas tersenyum singkat. Ternyata... Sedangkan si gadis hanya melihatnya dengan mata terbelalak. Mungkin kaget, takut, tidak percaya atau hal-hal liar lainnya.
------------------------------------------------------
Lucas meregangkan
ototnya keluar dari lapangan basket. Perutnya keroncongan sekarang.
Benar-benar kelaparan dalam arti hafiah bukan seperti tadi pagi. Sudah
berapa lama dia tertidur tadi? Koridor sudah sepi, dan sialannya waktu
belajar mengajar pasti sudah berlangsung sekarang. Saudara beda dunia, L
dengan egoisnya pergi begitu saja tanpa membangunkannya. Brengsek!
Kantin masih cukup jauh.
Dia harus menaiki tangga untuk ke kantin kelas XI. Bisa saja dia jajan
di kantin kelas X. Tetapi bisa tertangkap guru piket jika ketahuan dia
berkeliaran di koridor yang tidak seharusnya dia ada.
Dengan mata yang belum
sepenuhnya terbuka, Lucas jalan terseok meskipun beberapa kali hampir
menabrak tiang, tembok atau pot di depan kelas. Sambil mengecek
ponselnya, dia menaiki tangga menuju kelas XI. Ada banyak pesan dari
Dareen menanyakan keberadaannya, boloskah, tidurkah, sampai ditanya
guru-guru kangen tidak melihat si ganteng.
Lucas terkikik sendiri.
Tentu yang terakhir itu fitnah. Yang ada guru-guru bersyukur dia tidak
ada di kelas, jadi belajar mengajar sukses tanpa halangan apapun.
Lucas meletakkan
ponselnya. Dareen selalu bisa diandalkan. Keberuntungan baginya bisa
bertemu dengan orang yang bisa mengimbangi kegilaannya, lebih tepatnya
mereka memiliki kisah yang hampir sama. Dengan latar belakang
berantakan. Bedanya Dareen hidup sendirian, mungkin lebih miris atau
justru surga baginya karena bebas tanpa kekangan siapapun. Tetapi
terkadang Lucas bisa merasakan temannya ini kesepian karena tidak jarang
menginap di rumahnya. Meski akhirnya tidak betah karena keberadaan L
yang menurutnya seperti hantu. Menyeramkan dan kaku.
Dua butir bakso sudah
lolos masuk perutnya. Kantin sangat sepi hanya ada penjual yang sedang
menghitung hasil jerih payahnya hari ini. Saat seperti ini Lucas
mengerti bagaimana susahnya bekerja, dan dia seharusnya bersyukur masih
sekolah, dibayar, tanpa kerja dan harusnya dia belajar dengan benar,
tekun, tidak buat ulah.
Tetapi...
Dia butuh pelampiasan.
Dia butuh pelarian. Dia butuh pengalihan perhatian. Dia bisa mati jika
hidup dengan normal karena tidak kuat atau parahnya hidup membeku
seperti L. erght! Itu lebih mengerikan. Orang gila mana yang mau
menjalani hidup lurus tanpa belokan sama sekali. Membosankan.
Dia melihat mangkuk
baksonya yang masih setengah lahapan. Tetapi nafsu makannya perlahan
menghilang. Dikeluarkan dompetnya dan mengambil uang bergambar Kolonel
TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai ditindih mangkuk agar tidak tertiup
angin sebelum akhirnya keluar kantin. Dia baru saja mendapat pesan dari
Dareen kalau sekarang dia bisa balik ke kelas tanpa uring-uringan dengan
Bu Bertha. Karena beliau sedang ijin keluar.
Kakinya berhenti
menapaki anak tangga dan kembali turun melihat seseorang dibalik
gunungan buku menjulang, susah payah membawanya. Berjalan menghampiri
dan mengambil setengah dari tumpukan sehingga memperlihatkan seseorang
dibalik sana.
Wajah baru tapi tidak asing. Kacamata baca yang masih bertengger di hidung mungilya hampir melorot. Lucas tersenyum singkat. Ternyata... Sedangkan si gadis hanya melihatnya dengan mata terbelalak. Mungkin kaget, takut, tidak percaya atau hal-hal liar lainnya.
"Mau ditaruh dimana?" tanya Lucas.
Tidak ada tanggapan. Gadis itu menatap Lucas dengan pandangan bertanya.
"Hei!" bentak Lucas.
Broook!!
Semua buku ditangan si
gadis jatuh berhamburan di lantai terkejut mendengar bentakannya. Lucas
menghela nafas dan memutar bola matanya.
"Ti.. tidak per... perlu kak. Saya bisa sendiri." ujar gadis itu gemetaran.
"Yakin?"
Gadis itu mengangguk lalu menunduk menolak melihat Lucas.
"Taruh dimana ini?" Lucas membantu kembali menumpuk buku-buku paket lalu di angkatnya.
"Pe... perpus.."
"Oh! Ya udah."
"Tidak perlu repot-repot
kak. Saya bisa sendiri," gadis itu terus bilang tidak apa-apa, tidak
perlu repot-repot. Tidak keras justru terdengar seperti sebuah bisikan,
membuat Lucas jengah juga. Dia berbalik menatap gadis yang tidak lebih
tinggi dari bahunya.
"Sudahlah. Jangan cerewet bisa, kan?" tanya Lucas galak.
"Tapi kak..."
Lucas mengabaikannya.
Kalau begini ceritanya mending dia tidak perlu membantu tadi. Ck! Apa
tidak bisa hanya bilang terima kasih. Tidak perlu pakai hal lain-lain.
Kalau memang merepotkan, sudah dia abaikan dari tadi. Kalau memang tidak
apa-apa, tidak mungkin dia sok-sok an jadi pahwalan.
Lucas menaruh buku paket di depan perpus.
"Bisa bawa masuk sendiri kan?" tanya Lucas enggan masuk perpus.
Gadis itu mengangguk.
"Bagus! Soalnya bisa panjang urusannya kalau ikutan masuk. Tahu sendiri, guru-guru sensi banget kalau sudah bertemu denganku."
"I.. iya kak."
"Satu lagi. Jangan sungkan minta tolong."
Gadis itu mengangguk lagi.
"Kita pernah bertemu kan?"
Gadis itu mendongakkan kepalanya. Tepat. Benar. Wajah yang sama.
Lucas memasukkan
tangannya di dalam saku lalu berjalan melewati gadis itu. Sesaat tampak
biasa saja. Tetapi gadis itu berbalik terkejut mendengar apa yang
dibisikan Lucas padanya.
"Ingat Lucas? Aku Lucas."
------------------------------------------------------
Lucas baru meletakkan
pantatnya di kursi sudah mendapatkan sebuah jitakan di kepalanya. Tak
perlu susah-susah berbalik, dia menjulurkan kepalanya ke belakang
melihat siapa yang sudah kurang ajar menjitaknya.
Aish! Orang ini.
Tentu saja. Tidak ada
satupun orang yang berani menyentuh Lucas kecuali si gadis yang sudah
menjadi segala-gala baginya. Orang yang bebas melakukan apapun padanya.
Terkadang membuat seluruh siswi menatapnya iri, karena dia satu-satunya
gadis yang Lucas perbolehkan dekat-dekat dengannya dan juga dengan L.
Tentu saja. Siapa yang tidak iri? Disaat orang mati-matian berusaha
dekat dengan L dan mencari topik agar bisa bicara banyak, tapi gadis ini
datang dan pergi sesuka hati tanpa perlu merepotkan hal itu. Bebas
tertawa tanpa malu-malu, bebas bercanda, dan pulang pergi sekolah
bersama. Banyak yang menyebut mereka pacaran karena selalu bersama. Tapi
tidak ada yang bisa konfirmasi. Lebih tepatnya tidak ada yang bisa
dikepoin tentang keduanya yang seakan memiliki tingkatan sendiri.
Dan jelas Lucas bukan
tipe aman yang bisa di dekati dengan segala jenis reputasi buruk
meskipun sebenarnya dia baik jika sedang kerasukan jin. Mulut nya yang
ceplas ceplos merupakan sumber dosa dan otak dari segala hal rusuh yang
terjadi di sekolah. Bukan seseorang yang gila hormat dan kekuasaan,
hanya ingin melakukan hal anti mainstream dengan menyembunyikan kacaunya
di balik layar kehidupan yang dipertontonkan. Dikasihani tidak
membuatnya menjadi kuat, justru menjadi sosok yang semakin menyedihkan.
Mengeluh sudah dia lakukan sampai lelah, sampai tahap dia mencari
pengganti perhatiannya. Sampai dia menjadi sekarang.
Hazel bermata hazel. Dia
tidak tahu. Dia juga tidak mengerti. Dia hanya datang dan masuk begitu
saja. Mencari tempat ternyaman dan tinggal selamanya disana. Dia percaya
L dan Lucas adalah potongan yang berbeda dan menyempurnakan. Lucas
selalu menganggap Tuhan tidak adil yang menciptakan L dengan wujud yang
sangat sempurna. Lebih cerdas, lebih sopan, lebih bisa dibanggakan dan
jeleknya ada pada dirinya semua. Tetapi L yang jauh lebih merasa tidak
adil dengan kehidupan Lucas yang menyenangkan daripada hidupnya. Lucas
bebas mengekspresikan perasaannya, tidak peduli apapun, banyak teman,
banyak yang peduli, banyak yang memperhatikannya. Lucas selalu punya
cara untuk menyegarkan suasana. Meskipun sama-sama terluka dan hancur,
Lucas lebih tahu bagaimana menikmati hidup. Tetapi bagi Hazel mereka
berdua saling menguatkan satu sama lain, L yang bijaksana selalu marah
jika ada yang memandang buruk kakak kembarnya. Meskipun berbeda, mereka
tidak suka dibedakan satu sama lain. Mereka satu. Dan jangan sakiti
salah satunya. Begitupun Lucas, dengan tubuh yang lebih besar dan lebih
kuat, dia bisa melindungi L dari apapun yang membahayakannya.
"Aku harap mereka tidak saling menyakiti satu sama lain," batin Hazel.
Lucas membalikan badan
pada akhirnya. Menatap Hazel selembut mungkin membuat Hazel memutar bola
matanya, sudah tidak mempan dengan segala jenis rayuan dan tipuan
Lucas.
"Darimana saja tadi?"
tanya Hazel to the point. Karena memang Lucas bolos hampir setengah
hari. Biasa memang. Tapi dia ingin dengar alasan apalagi yang akan
keluar dari mulut si ajaib ini.
"Kangen ya? Sini sini peluk," Lucas sudah siap merentangkan tangannya memeluk Hazel tetapi justru mendapat toyoran kepala.
"Pelukanku ditolak, man!" adu Lucas pada Dareen.
Dareen yang awalnya sibuk menyalin yang ada di papan tulis menolehkan kepalanya dan menggeleng perihatin.
"Sadar diri dong, bro! Udah tahu Hazel naksirnya sama si beku. Berhenti berusaha. Mending sama ayang Dareen sini."
Kontan orang yang
mendengarnya bergidik ngeri, terutama Hazel yang duduknya tepat di
bangku belakangnya menjitak Dareen sampai membuat si empu mengaduh ganti
mengadu ke Lucas. Kelas kembali pecah kalau si pentolannya ada di
dalam. Dari kejar-kejaran, lempar bola baseball asal, nyanyi
gila-gilaan. Tak jarang juga Lucas sampai harus di ungsikan ke kantor
guru, diberi nasehat ini, itu. Jangan melakukan ini, itu dan segala
jenis masa depan cerah, buruk, sebagainya.
Namanya juga Lucas, dia
mendengarkan sambil membaca koran santai. Tak jarang juga justru dia
memotong nasehat seenak kepalanya lalu membahas hal lain yang ada di
koran. Batal lah aksi marah-marah. Digantikan dengan pembahasan baru
yang lebih menarik.
"Eh guys! Hari ini jam
kosong!" Aksi mengetuk-ngetuk meja guru dengan penghapus whiteboard
mendapat siulan kebahagiaan dari penghuni kelas jahanam ini.
"Serius?"
"Yakin?"
"Sumpah?"
"Miapah?"
Tanya mereka berkoor ria
hanya dibalas anggukan Lucas. Dan kembali riuh akhirnya surga anak
sekolah datang juga. Untuk beberapa murid teladan, mendecak kecewa lalu
merusak selebrasi bahagia jam kosong.
"Panggil BK aja ya biar ada yang ngawasin?"
Seketika dapat tatapan horror dari satu kelas.
"Mau lo apasih?"
"Pengkhianat!"
"Songong nih!"
"Yaelah. Baru juga jamkos."
"Ga seru."
"Anak siapa sih dia?"
Si tadi hanya mencibir
masam sedangkan Lucas hanya tertawa. Ternyata kelas ini tidak sejahanam
itu. Ah dasar Vero. Dulu juga itu anak sama seperti mereka, tapi setelah
kepentok cintanya L jadi mengikuti jejak gebetannya. Hitung-hitung
pencitraan. Padahal sia-sia karena Lucas tahu kalau adik kembarnya itu
agak sulit jatuh cinta.
Its show time!!
Dengan suaranya yang
hancur parah. Tidak bisa membedakan do dan mi, Lucas menyanyikan lagu
rock semakin memperburuk keadaan. Suaranya yang tak lebih bagus dari
kucing melahirkan, dengan percaya dirinya bernyanyi semangat membuat
siapapun harus rela keluar uang untuk pergi ke dokter THT karena
gangguan pendengaran. Tidak hanya itu, dampak yang ditimbulkan dari
kelas sebelah jadi tidak konsentrasi, terus seperti biasa. Melapor ke
guru piket atau parahnya kepala sekolah sendiri yang menjemputnya.
Tetapi mungkin hari ini
Pak KepSek sedang sibuk, jadi guru BK yang sudah sangat hapal, kenal
luar dalam datang dengan muka garang seperti biasanya Guru BK di sekolah
lain kalau sudah ketemu siswa berandalan, tengil, susah di atur. Kelas
seketika hening saat tahu sosok bertubuh yang seharusnya langsing tapi
kelebihan lemak menatap Lucas dengan tatapan mematikan.
Dareen menyikut Lucas supaya berhenti menyakiti telinga tetangga karena suaranya.
"Gimana sih Luc? Katanya jam kosong?" Bisik Dareen kesal.
"Lah kan memang jam kosong." Kata Lucas tanpa merasa bersalah.
"Tapi ini apa, Bu Endang?"
"Yee.. kan tadi aku hanya bilang jam kosong bukan bilang Bu Endang tidak akan kesini kan?"
"Bangsat!"
Si jangkung memutar
tubuhnya menatap Guru kesayangannya, dengan gaya ala ala India dia
berlari dan seketika memeluk tubuh gempal itu, parahnya tangannya sampai
tidak menyatu saking besarnya. Tanpa memperdulikan raut wajah Bu
Endang, Lucas cengengesan.
"Ada apa, Bu? Kangen
sama saya ya? Lucas juga kangen berat sama Ibu Endang. Kangen
diperhatiin, kangen diurusin, kangen di ikutin kemana-mana."
"Ikut Ibu ke ruangan!" Bu Endang tidak memperdulikan bualan anak didiknya yang sudah sangat dia kenal.
"Yah, Bu. Kita lagi karokean lho. Ibu mau bergabung?"
Hazel menutup wajahnya. Benar-benar Lucas ini, bodoh atau terlalu bodoh.
"Jangan membantah Lucas!!"
"Saya cuma menawarkan."
Lucas berjalan keluar kelas santai sebelum mendapat amukan lebih nyaring
lagi. Toh di ruang BK nanti juga dia mendengarkan hal sama seperti
kemarin-kemarin. Ketaatan, kepatuhan, kedisiplinan, tata tertib sampai
merembet ke kenapa kamu tidak seperti saudaramu yang pintar, taat, bitch
lah. Dipikir semua orang sama apa. L ya L. Lucas ya Lucas. Lucas tidak
bisa jadi L dan begitu sebaliknya.
Lucas melewati kelas
saudaranya yang terlihat orang itu sedang berdiri mengerjakan sesuatu di
depan kelas yang ternyata juga sedang menatapnya. Dia segera
mengacungkan jempolnya ke udara dengan senyum merekah yang hanya dibalas
dengan dengusan dari L. Iri? Tidak. Marah? Buat apa? Ini hidup yang dia
pilih. Dan itu hidup yang L pilih. Tidak ada iri atau marah. Ini adalah
proses dimana mereka masing-masing saling memberontak pada sesuatu.
Tetapi dengan cara yang berbeda, meskipun cara Lucas terlihat salah dan
ekstrim. Tetapi hidup L lah yang lebih ekstrim. Karena dia seakan hidup
sendiri dengan dunianya sendiri. Tidak berusaha menyentuh dan menolak
disentuh. Dia hidup dimana hanya ada lapisan putih kosong. Tanpa noda
atau warna. Kesepian dan sendirian.
"Bu, boleh nanya sesuatu?" tanya Lucas berbisik pada Bu Endang.
"Apa?"
"Anak baru kelas X siapa
namanya ya?" tiba-tiba Lucas penasaran dengan gadis yang dia bantu
tadi. Sekilas hampir mirip dengan gadis yang semalam.
"X berapa?"
"Engg~" Lucas mencoba mengingat-ingat. "Lupa, Bu. Pokoknya anak baru lah."
"Emang kenapa?" tanya Bu Endang heran tiba-tiba Lucas tertarik pada sesuatu hal yang tidak biasanya.
"Kasih tahu sajalah. Cuma nama." Lucas enggan menjelaskan karena memang dia tidak punya alasan pasti. Hanya penasaran.
"Ara." jawab Bu Endang singkat.
"Ara? Ara siapa?"
"Aprilya Arakida."
Lucas manggut-manggut melafalkan nama itu pelan-pelan seakan membiasakan lidahnya.
"Makasih ya Bu."
Bu Endang mendengar
suara Lucas yang semula ada dibelakangnya kini kian menjauh. Begitu
berbalik muridnya sudah ada di jarak dua meter lari semakin menjauh.
"Lucas mau kemana kamu?!" teriak Bu Endang.
"Toilet Bu. Tenang tidak
akan bolos kok." Lucas meyakinkan dan semakin menjauh lalu hilang di
tikungan menuruni anak tangga. Sedangkan Bu Endang menarik nafas dan
menghembuskannya kesal. Kacau melihat muridnya yang satu ini.
Toilet yang dimaksud
ternyata adalah kelas X-4, tempat dimana Si Ara belajar. Lucas bisa tahu
karena sejak tadi melongokan kepalanya melihat seluruh isi kelas dari
luar jendela. Dan tepat di ruangan yang ke-4 dia menemukan si Ara duduk
tenang tenggelam dengan buku pelajarannya dengan kaca mata menggantung
di ujung pangkal hidungnya.
Lucas terdiam sebentar
lalu melangkah pergi sebelum tertangkap basah sudah berkeliaran
kemana-mana. Apalagi Bu Endang siap mencincangnya kalau tidak segera
kembali. Bukannya takut, tapi Lucas lagi males ketemu Bu Bertha yang
lebih cerewet, lebih nyaring, lebih parahlah. Namanya juga guru perawan.
Awalnya Lucas naksir sama Bu Bertha dan janji bakalan nurut. Tetapi
lama kelamaan Bu Bertha melewati batas yang seharusnya. Mengekangnya
dengan alasan masa depan ini dan itu. Memarahi dan otoriter. Lama-lama
jengah juga.
Mekipun Bu Endang dan Bu
Bertha tidak ada yang lebih baik, tetapi setidaknya Bu Endang lebih
tahu kenapa dia bisa sampai seperti ini. Meskipun hanya secuil, tidak
banyak.