L U C A S #2

8:27 PM 0 Comments A+ a-

#2



 ------------------------------------------------------

Lucas meregangkan ototnya keluar dari lapangan basket. Perutnya keroncongan sekarang. Benar-benar kelaparan dalam arti hafiah bukan seperti tadi pagi. Sudah berapa lama dia tertidur tadi? Koridor sudah sepi, dan sialannya waktu belajar mengajar pasti sudah berlangsung sekarang. Saudara beda dunia, L dengan egoisnya pergi begitu saja tanpa membangunkannya. Brengsek!

Kantin masih cukup jauh. Dia harus menaiki tangga untuk ke kantin kelas XI. Bisa saja dia jajan di kantin kelas X. Tetapi bisa tertangkap guru piket jika ketahuan dia berkeliaran di koridor yang tidak seharusnya dia ada.

Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, Lucas jalan terseok meskipun beberapa kali hampir menabrak tiang, tembok atau pot di depan kelas. Sambil mengecek ponselnya, dia menaiki tangga menuju kelas XI. Ada banyak pesan dari Dareen menanyakan keberadaannya, boloskah, tidurkah, sampai ditanya guru-guru kangen tidak melihat si ganteng.

Lucas terkikik sendiri. Tentu yang terakhir itu fitnah. Yang ada guru-guru bersyukur dia tidak ada di kelas, jadi belajar mengajar sukses tanpa halangan apapun.

Lucas meletakkan ponselnya. Dareen selalu bisa diandalkan. Keberuntungan baginya bisa bertemu dengan orang yang bisa mengimbangi kegilaannya, lebih tepatnya mereka memiliki kisah yang hampir sama. Dengan latar belakang berantakan. Bedanya Dareen hidup sendirian, mungkin lebih miris atau justru surga baginya karena bebas tanpa kekangan siapapun. Tetapi terkadang Lucas bisa merasakan temannya ini kesepian karena tidak jarang menginap di rumahnya. Meski akhirnya tidak betah karena keberadaan L yang menurutnya seperti hantu. Menyeramkan dan kaku.

Dua butir bakso sudah lolos masuk perutnya. Kantin sangat sepi hanya ada penjual yang sedang menghitung hasil jerih payahnya hari ini. Saat seperti ini Lucas mengerti bagaimana susahnya bekerja, dan dia seharusnya bersyukur masih sekolah, dibayar, tanpa kerja dan harusnya dia belajar dengan benar, tekun, tidak buat ulah. 

Tetapi...

Dia butuh pelampiasan. Dia butuh pelarian. Dia butuh pengalihan perhatian. Dia bisa mati jika hidup dengan normal karena tidak kuat atau parahnya hidup membeku seperti L. erght! Itu lebih mengerikan. Orang gila mana yang mau menjalani hidup lurus tanpa belokan sama sekali. Membosankan.
Dia melihat mangkuk baksonya yang masih setengah lahapan. Tetapi nafsu makannya perlahan menghilang. Dikeluarkan dompetnya dan mengambil uang bergambar Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai ditindih mangkuk agar tidak tertiup angin sebelum akhirnya keluar kantin. Dia baru saja mendapat pesan dari Dareen kalau sekarang dia bisa balik ke kelas tanpa uring-uringan dengan Bu Bertha. Karena beliau sedang ijin keluar.

Kakinya berhenti menapaki anak tangga dan kembali turun melihat seseorang dibalik gunungan buku menjulang, susah payah membawanya. Berjalan menghampiri dan mengambil setengah dari tumpukan sehingga memperlihatkan seseorang dibalik sana.

Wajah baru tapi tidak asing. Kacamata baca yang masih bertengger di hidung mungilya hampir melorot. Lucas tersenyum singkat. Ternyata... Sedangkan si gadis hanya melihatnya dengan mata terbelalak. Mungkin kaget, takut, tidak percaya atau hal-hal liar lainnya.

"Mau ditaruh dimana?" tanya Lucas.

Tidak ada tanggapan. Gadis itu menatap Lucas dengan pandangan bertanya.

"Hei!" bentak Lucas. 

Broook!!

Semua buku ditangan si gadis jatuh berhamburan di lantai terkejut mendengar bentakannya. Lucas menghela nafas dan memutar bola matanya.

"Ti.. tidak per... perlu kak. Saya bisa sendiri." ujar gadis itu gemetaran.

"Yakin?"

Gadis itu mengangguk lalu menunduk menolak melihat Lucas.

"Taruh dimana ini?" Lucas membantu kembali menumpuk buku-buku paket lalu di angkatnya.

"Pe... perpus.."

"Oh! Ya udah."

"Tidak perlu repot-repot kak. Saya bisa sendiri," gadis itu terus bilang tidak apa-apa, tidak perlu repot-repot. Tidak keras justru terdengar seperti sebuah bisikan, membuat Lucas jengah juga. Dia berbalik menatap gadis yang tidak lebih tinggi dari bahunya.

"Sudahlah. Jangan cerewet bisa, kan?" tanya Lucas galak.

"Tapi kak..."

Lucas mengabaikannya. Kalau begini ceritanya mending dia tidak perlu membantu tadi. Ck! Apa tidak bisa hanya bilang terima kasih. Tidak perlu pakai hal lain-lain. Kalau memang merepotkan, sudah dia abaikan dari tadi. Kalau memang tidak apa-apa, tidak mungkin dia sok-sok an jadi pahwalan.

Lucas menaruh buku paket di depan perpus.

"Bisa bawa masuk sendiri kan?" tanya Lucas enggan masuk perpus.

Gadis itu mengangguk.

"Bagus! Soalnya bisa panjang urusannya kalau ikutan masuk. Tahu sendiri, guru-guru sensi banget kalau sudah bertemu denganku."

"I.. iya kak."

"Satu lagi. Jangan sungkan minta tolong."

Gadis itu mengangguk lagi.

"Kita pernah bertemu kan?"

Gadis itu mendongakkan kepalanya. Tepat. Benar. Wajah yang sama.

Lucas memasukkan tangannya di dalam saku lalu berjalan melewati gadis itu. Sesaat tampak biasa saja. Tetapi gadis itu berbalik terkejut mendengar apa yang dibisikan Lucas padanya.

"Ingat Lucas? Aku Lucas."

------------------------------------------------------

Lucas baru meletakkan pantatnya di kursi sudah mendapatkan sebuah jitakan di kepalanya. Tak perlu susah-susah berbalik, dia menjulurkan kepalanya ke belakang melihat siapa yang sudah kurang ajar menjitaknya.

Aish! Orang ini.

Tentu saja. Tidak ada satupun orang yang berani menyentuh Lucas kecuali si gadis yang sudah menjadi segala-gala baginya. Orang yang bebas melakukan apapun padanya. Terkadang membuat seluruh siswi menatapnya iri, karena dia satu-satunya gadis yang Lucas perbolehkan dekat-dekat dengannya dan juga dengan L. Tentu saja. Siapa yang tidak iri? Disaat orang mati-matian berusaha dekat dengan L dan mencari topik agar bisa bicara banyak, tapi gadis ini datang dan pergi sesuka hati tanpa perlu merepotkan hal itu. Bebas tertawa tanpa malu-malu, bebas bercanda, dan pulang pergi sekolah bersama. Banyak yang menyebut mereka pacaran karena selalu bersama. Tapi tidak ada yang bisa konfirmasi. Lebih tepatnya tidak ada yang bisa dikepoin tentang keduanya yang seakan memiliki tingkatan sendiri.

Dan jelas Lucas bukan tipe aman yang bisa di dekati dengan segala jenis reputasi buruk meskipun sebenarnya dia baik jika sedang kerasukan jin. Mulut nya yang ceplas ceplos merupakan sumber dosa dan otak dari segala hal rusuh yang terjadi di sekolah. Bukan seseorang yang gila hormat dan kekuasaan, hanya ingin melakukan hal anti mainstream dengan menyembunyikan kacaunya di balik layar kehidupan yang dipertontonkan. Dikasihani tidak membuatnya menjadi kuat, justru menjadi sosok yang semakin menyedihkan. Mengeluh sudah dia lakukan sampai lelah, sampai tahap dia mencari pengganti perhatiannya. Sampai dia menjadi sekarang.

Hazel bermata hazel. Dia tidak tahu. Dia juga tidak mengerti. Dia hanya datang dan masuk begitu saja. Mencari tempat ternyaman dan tinggal selamanya disana. Dia percaya L dan Lucas adalah potongan yang berbeda dan menyempurnakan. Lucas selalu menganggap Tuhan tidak adil yang menciptakan L dengan wujud yang sangat sempurna. Lebih cerdas, lebih sopan, lebih bisa dibanggakan dan jeleknya ada pada dirinya semua. Tetapi L yang jauh lebih merasa tidak adil dengan kehidupan Lucas yang menyenangkan daripada hidupnya. Lucas bebas mengekspresikan perasaannya, tidak peduli apapun, banyak teman, banyak yang peduli, banyak yang memperhatikannya. Lucas selalu punya cara untuk menyegarkan suasana. Meskipun sama-sama terluka dan hancur, Lucas lebih tahu bagaimana menikmati hidup. Tetapi bagi Hazel mereka berdua saling menguatkan satu sama lain, L yang bijaksana selalu marah jika ada yang memandang buruk kakak kembarnya. Meskipun berbeda, mereka tidak suka dibedakan satu sama lain. Mereka satu. Dan jangan sakiti salah satunya. Begitupun Lucas, dengan tubuh yang lebih besar dan lebih kuat, dia bisa melindungi L dari apapun yang membahayakannya.

"Aku harap mereka tidak saling menyakiti satu sama lain," batin Hazel.

Lucas membalikan badan pada akhirnya. Menatap Hazel selembut mungkin membuat Hazel memutar bola matanya, sudah tidak mempan dengan segala jenis rayuan dan tipuan Lucas.

"Darimana saja tadi?" tanya Hazel to the point. Karena memang Lucas bolos hampir setengah hari. Biasa memang. Tapi dia ingin dengar alasan apalagi yang akan keluar dari mulut si ajaib ini.

"Kangen ya? Sini sini peluk," Lucas sudah siap merentangkan tangannya memeluk Hazel tetapi justru mendapat toyoran kepala.

"Pelukanku ditolak, man!" adu Lucas pada Dareen.

Dareen yang awalnya sibuk menyalin yang ada di papan tulis menolehkan kepalanya dan menggeleng perihatin.

"Sadar diri dong, bro! Udah tahu Hazel naksirnya sama si beku. Berhenti berusaha. Mending sama ayang Dareen sini."

Kontan orang yang mendengarnya bergidik ngeri, terutama Hazel yang duduknya tepat di bangku belakangnya menjitak Dareen sampai membuat si empu mengaduh ganti mengadu ke Lucas. Kelas kembali pecah kalau si pentolannya ada di dalam. Dari kejar-kejaran, lempar bola baseball asal, nyanyi gila-gilaan. Tak jarang juga Lucas sampai harus di ungsikan ke kantor guru, diberi nasehat ini, itu. Jangan melakukan ini, itu dan segala jenis masa depan cerah, buruk, sebagainya.

Namanya juga Lucas, dia mendengarkan sambil membaca koran santai. Tak jarang juga justru dia memotong nasehat seenak kepalanya lalu membahas hal lain yang ada di koran. Batal lah aksi marah-marah. Digantikan dengan pembahasan baru yang lebih menarik.

"Eh guys! Hari ini jam kosong!" Aksi mengetuk-ngetuk meja guru dengan penghapus whiteboard mendapat siulan kebahagiaan dari penghuni kelas jahanam ini.

"Serius?"

"Yakin?"

"Sumpah?"
 
"Miapah?"

Tanya mereka berkoor ria hanya dibalas anggukan Lucas. Dan kembali riuh akhirnya surga anak sekolah datang juga. Untuk beberapa murid teladan, mendecak kecewa lalu merusak selebrasi bahagia jam kosong.

"Panggil BK aja ya biar ada yang ngawasin?"

Seketika dapat tatapan horror dari satu kelas.

"Mau lo apasih?"

"Pengkhianat!"

"Songong nih!"

"Yaelah. Baru juga jamkos."

"Ga seru."

"Anak siapa sih dia?"

Si tadi hanya mencibir masam sedangkan Lucas hanya tertawa. Ternyata kelas ini tidak sejahanam itu. Ah dasar Vero. Dulu juga itu anak sama seperti mereka, tapi setelah kepentok cintanya L jadi mengikuti jejak gebetannya. Hitung-hitung pencitraan. Padahal sia-sia karena Lucas tahu kalau adik kembarnya itu agak sulit jatuh cinta.

Its show time!!

Dengan suaranya yang hancur parah. Tidak bisa membedakan do dan mi, Lucas menyanyikan lagu rock semakin memperburuk keadaan. Suaranya yang tak lebih bagus dari kucing melahirkan, dengan percaya dirinya bernyanyi semangat membuat siapapun harus rela keluar uang untuk pergi ke dokter THT karena gangguan pendengaran. Tidak hanya itu, dampak yang ditimbulkan dari kelas sebelah jadi tidak konsentrasi, terus seperti biasa. Melapor ke guru piket atau parahnya kepala sekolah sendiri yang menjemputnya.

Tetapi mungkin hari ini Pak KepSek sedang sibuk, jadi guru BK yang sudah sangat hapal, kenal luar dalam datang dengan muka garang seperti biasanya Guru BK di sekolah lain kalau sudah ketemu siswa berandalan, tengil, susah di atur. Kelas seketika hening saat tahu sosok bertubuh yang seharusnya langsing tapi kelebihan lemak menatap Lucas dengan tatapan mematikan.

Dareen menyikut Lucas supaya berhenti menyakiti telinga tetangga karena suaranya.

"Gimana sih Luc? Katanya jam kosong?" Bisik Dareen kesal.

"Lah kan memang jam kosong." Kata Lucas tanpa merasa bersalah.

"Tapi ini apa, Bu Endang?"

"Yee.. kan tadi aku hanya bilang jam kosong bukan bilang Bu Endang tidak akan kesini kan?"

"Bangsat!"

Si jangkung memutar tubuhnya menatap Guru kesayangannya, dengan gaya ala ala India dia berlari dan seketika memeluk tubuh gempal itu, parahnya tangannya sampai tidak menyatu saking besarnya. Tanpa memperdulikan raut wajah Bu Endang, Lucas cengengesan.

"Ada apa, Bu? Kangen sama saya ya? Lucas juga kangen berat sama Ibu Endang. Kangen diperhatiin, kangen diurusin, kangen di ikutin kemana-mana."

"Ikut Ibu ke ruangan!" Bu Endang tidak memperdulikan bualan anak didiknya yang sudah sangat dia kenal.
"Yah, Bu. Kita lagi karokean lho. Ibu mau bergabung?"

Hazel menutup wajahnya. Benar-benar Lucas ini, bodoh atau terlalu bodoh.

"Jangan membantah Lucas!!"

"Saya cuma menawarkan." Lucas berjalan keluar kelas santai sebelum mendapat amukan lebih nyaring lagi. Toh di ruang BK nanti juga dia mendengarkan hal sama seperti kemarin-kemarin. Ketaatan, kepatuhan, kedisiplinan, tata tertib sampai merembet ke kenapa kamu tidak seperti saudaramu yang pintar, taat, bitch lah. Dipikir semua orang sama apa. L ya L. Lucas ya Lucas. Lucas tidak bisa jadi L dan begitu sebaliknya.
Lucas melewati kelas saudaranya yang terlihat orang itu sedang berdiri mengerjakan sesuatu di depan kelas yang ternyata juga sedang menatapnya. Dia segera mengacungkan jempolnya ke udara dengan senyum merekah yang hanya dibalas dengan dengusan dari L. Iri? Tidak. Marah? Buat apa? Ini hidup yang dia pilih. Dan itu hidup yang L pilih. Tidak ada iri atau marah. Ini adalah proses dimana mereka masing-masing saling memberontak pada sesuatu. Tetapi dengan cara yang berbeda, meskipun cara Lucas terlihat salah dan ekstrim. Tetapi hidup L lah yang lebih ekstrim. Karena dia seakan hidup sendiri dengan dunianya sendiri. Tidak berusaha menyentuh dan menolak disentuh. Dia hidup dimana hanya ada lapisan putih kosong. Tanpa noda atau warna. Kesepian dan sendirian.

"Bu, boleh nanya sesuatu?" tanya Lucas berbisik pada Bu Endang.

"Apa?"

"Anak baru kelas X siapa namanya ya?" tiba-tiba Lucas penasaran dengan gadis yang dia bantu tadi. Sekilas hampir mirip dengan gadis yang semalam.

"X berapa?"

"Engg~" Lucas mencoba mengingat-ingat. "Lupa, Bu. Pokoknya anak baru lah."

"Emang kenapa?" tanya Bu Endang heran tiba-tiba Lucas tertarik pada sesuatu hal yang tidak biasanya.

"Kasih tahu sajalah. Cuma nama." Lucas enggan menjelaskan karena memang dia tidak punya alasan pasti. Hanya penasaran.

"Ara." jawab Bu Endang singkat.

"Ara? Ara siapa?"

"Aprilya Arakida."

Lucas manggut-manggut melafalkan nama itu pelan-pelan seakan membiasakan lidahnya.

"Makasih ya Bu."

Bu Endang mendengar suara Lucas yang semula ada dibelakangnya kini kian menjauh. Begitu berbalik muridnya sudah ada di jarak dua meter lari semakin menjauh.

"Lucas mau kemana kamu?!" teriak Bu Endang.

"Toilet Bu. Tenang tidak akan bolos kok." Lucas meyakinkan dan semakin menjauh lalu hilang di tikungan menuruni anak tangga. Sedangkan Bu Endang menarik nafas dan menghembuskannya kesal. Kacau melihat muridnya yang satu ini.

Toilet yang dimaksud ternyata adalah kelas X-4, tempat dimana Si Ara belajar. Lucas bisa tahu karena sejak tadi melongokan kepalanya melihat seluruh isi kelas dari luar jendela. Dan tepat di ruangan yang ke-4 dia menemukan si Ara duduk tenang tenggelam dengan buku pelajarannya dengan kaca mata menggantung di ujung pangkal hidungnya.

Lucas terdiam sebentar lalu melangkah pergi sebelum tertangkap basah sudah berkeliaran kemana-mana. Apalagi Bu Endang siap mencincangnya kalau tidak segera kembali. Bukannya takut, tapi Lucas lagi males ketemu Bu Bertha yang lebih cerewet, lebih nyaring, lebih parahlah. Namanya juga guru perawan. Awalnya Lucas naksir sama Bu Bertha dan janji bakalan nurut. Tetapi lama kelamaan Bu Bertha melewati batas yang seharusnya. Mengekangnya dengan alasan masa depan ini dan itu. Memarahi dan otoriter. Lama-lama jengah juga.

Mekipun Bu Endang dan Bu Bertha tidak ada yang lebih baik, tetapi setidaknya Bu Endang lebih tahu kenapa dia bisa sampai seperti ini. Meskipun hanya secuil, tidak banyak.

------------------------------------------------------

Hai \m/ Omega here. Glad to know you guys. Enjoy with me OK!!