L U C A S #4

12:30 PM 0 Comments A+ a-

#4


 ------------------------------------------------------


Ini bukanlah pertama kalinya Lucas menginjakkan kaki di ruang kesiswaan. Hapal, bahkan dia sampai tahu setiap lekuk ruangan yang tidak terlalu besar ini. Hampir separuh hidupnya di sekolah, dia habiskan di ruangan ini selain di kantin, atap sekolah dan kelas. Dan untuk kesekian kalinya dia berurusan dengan Bu Endang. Semua jenis nasehat yang dia hapal sampai diluar kepala membuatnya mual. Ada kalanya dia berfikir, kenapa dia harus seperti ini? Kenapa dia tidak jadi baik? Kenapa dia tidak hidup dengan normal tanpa membuat masalah? Kenapa dia tidak bisa berbuat baik? Kenapa orang-orang selalu melihatnya dengan tatapan anak yang kurang. Kurang kerjaan, kurang kasih sayang, kurang perhatian, kurang didikan, kurang ajar, kurang dalam segala hal. Kenapa orang-orang selalu melihat semua keburukannya, dan tidak pernah repot melihat apa kebaikan yang sudah dia lakukan.

Lucas melihat juniornya yang baru dia ketahui bernama Kevin yang menciut takut dibawah tatapannya. Dia sudah bicara dengan jujur, bukan dia yang mulai. Bukan dia yang memprovokasi. Dia melakukan itu juga bukan tanpa alasan. Bu Endang tidak percaya. Orang yang dia kira memahaminya. Tetapi tidak ada yang percaya. Semua orang berkhianat. Bersama-sama mengkhianatinya. Brengsek!

Kalau situasinya sudah tidak bisa dirubah dan jika memang label buruk begitu kuat menempel dalam dirinya, untuk apa bertindak setengah? Untuk apa pura-pura baik? Untuk apa menahannya lagi? Tetapi dia juga ingin dipandang baik. Dia bukan iblis ataupun monster yang menakutkan. Dia ingin dilihat sebagai manusia sama seperti yang lain.

Lucas menatap telapak tangannya. Dia tidak pernah membunuh dan memukul perempuan. Dia bersumpah pada dirinya sendiri. Melenyapkan nyawa orang lain bukanlah tugasnya, bukan hal yang pantas dia lakukan. Dan perempuan bukanlah makhluk yang pantas dipukul, bahkan sebisa mungkin untuk tidak dibentak. Tidak!
Melangkahkan kaki mengabaikan teriakan Bu Endang yang memintanya berbalik, kembali dan jangan membantah.

Dasar anak nakal.

Dasar anak yang tidak bisa dibanggakan.

Hanya bisa cari perhatian.

Dia sensitif jika tentang keluarga. Aku rasa keluarganya hancur.

Tentu, siapa yang mau punya anak seperti dia. Bandel. Nakal. Pembuat masalah.

Lucas kecil berjalan menunduk sepanjang koridor sekolah dengan seluruh anak mengucilkan dan berbisik padanya.

Dia tidak pernah memukul tanpa alasan. Dan alasan dia memukul temannya karena anak itu bilang jika Ibunya tidak sayang padanya dan memilih meninggalkannya.

"Itu tidak benar. Mama sayang Lucas. Mama hanya pergi sebentar. Mama akan kembali dan jemput Lucas."

Bruk!

Lucas terjatuh, duduk di lantai bersandar tembok. Brengsek!

Mereka menyebutku jahat, padahal mereka sendiri jahat padaku, gumam Lucas.

Tangan kecil terulur kearahnya membuatnya mendongak.

"Kau lagi?"

"Ambil ini. Tanganmu terluka," kata gadis itu judes.

"Plester?"

"Untuk menutup lukamu."

Untuk menutup lukamu.

"Lucas jangan lari-larian ya. Nanti jatuh."

"Tak apa. Lucas kuat. Lucas kan superman."

"Haha.. sekarang superman pakai plester dulu ya."

"Untuk apa plester?"

"Untuk menutup lukamu. Biar cepat sembuh. Biar superman bisa terbang lagi dan menolong orang-orang."

"Kau..."

Ara mengerjapkam matanya.

"Melewati batas yang seharusnya. Jangan berfikir untuk lari. Dan..."

Ara. Gadis itu melewati batas yang seharusnya. Kecil dan tidak terduga, tetapi justru benar-benar menghidupkan sisi buas predator yang posesive dalam dirinya.

Gadis yang datang dan bertemu tanpa terduga. Bermain-main sebentar dengan polos, kekanak-kanakan, ketakutan seperti anak kecil. Tetapi justru membuatnya terpental kembali ke jurang hanya karena plester. Dalam hidupnya, plester adalah hal keramat. Kunci dari rasa sakitnya. Penutup rasa nyerinya. Dan hanya ibu nya yang boleh memberi dan menutup lukanya.

Lucas menganga merasakan sakit yang coba dia abaikan lama. Dia berusaha membuat dirinya sakit, tubuhnya nyeri agar dia tidak bisa merasakan sakit dihatinya. Tetapi sakit itu semakin jelas terasa sekarang.
Ara. Terima kasih dan selamat datang.

Lucas meremas plester ditangannya. Mencoba berdiri, bangun dengan kokoh.

"Katakan kau menyukaiku!"

Apa?

------------------------------------------------------

Ara berjalan bingung dengan apa yang baru saja dia dengar. Dia pasti sudah gila. Dan Lucas sudah jelas gila. Jika tadi dia tahu itu Lucas, dia tidak akan mendekat. Tidak sudi untuk mendekat. Setelah menciumnya dengan kurang ajar di depan banyak orang membuatnya menjadi objek tatapan tajam orang-orang. Hei apa-apaan ini. Dia korban. Korban. Yak! Kenapa menatap seperti itu? Lucas yang menciumnya bukan dia yang mencium kakak-kakak an kalian itu. Tapi kenapa orang-orang menatapnya seakan dialah tersangkanya? Tidak adil.

Dan hah, apa lagi itu. Apa Lucas selalu nyerocos hal-hal tidak masuk akal? Dia menyuruh Ara bilang suka padanya? What the hell!

Ara menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tenangkan fikiranmu, Ara, gumamnya sebelum akhirnya mengetuk pintu dan meminta ijin untuk duduk.

Lucas melangkahkan kaki terus naik melewati lantai kelas sebelas. Tetap menaiki tangga menuju lantai kelas dua belas. Lalu naik lagi menuju atap sekolah. Masih dengan mata yang tidak fokus dan dengan masih meremas plester ditangan kirinya, Lucas berdiri menatap langit. Kekuasaan yang sesungguhnya. Tempat dimana penguasa mengepakkan sayapnya, membakarnya dengan brutal.

Tetap memejamkan mata, Lucas merasakan panas mengenai wajahnya.

"Mama.." gumamnya lemah. "Dimanapun kau. Apapun yang sedang kau lakukan. Sehat ataupun sakit. Bahagia ataupun sedih. Aku merindukanmu. Sampai detik ini.. aku tidak sanggup membencimu, aku mencintaimu, menyayangimu. Tidak peduli kau tidak menyayangiku ataupun justru melupakanku. Aku merindukanmu.."

"L juga rindu Mama."

Lucas menoleh mendapati seseorang berdiri bersandar angkuh terhadapnya.

"Aish.. si brengsek."

L tersenyum samar. "Jadi ini tempat galaumu?"

Sambil melihat tanah lapang dan hanya ada gudang tempat bangku kosong dan sejenisnya, sampai matanya bertemu dengan mata elang itu lagi.

"Hei.. ada apa?"

"Cih.. apa yang kau lakukan disini?"

"Penasaran." L mengangkat bahu sampai matanya melihat sebuah plester digenggaman tangan Lucas.

"Ara."

"Gadis itu?" L cepat tanggap.

"Dia harus jadi milikku."

L mengangkat satu alisnya. Terkadang dia tidak mengerti dengan orang yang ada dihadapannya. Mereka hidup bersama. Tinggal bersama dari rahim sampai detik ini. Lahir hanya jeda beberapa menit. Tetapi Lucas yang didepannya, orang yang berjanji dan memegang teguh untuk tidak melibatkan urusan wanita di dalam hidupnya tiba-tiba ingin memiliki? Gadis? Ada yang salah dengan dirinya.

"Lucas.."

"Why?" Lucas balas menatapnya.

"Sebenarnya apa yang mau kau lakukan?"

Lucas membuang nafas. "Tidak ada."

Mereka saling diam.

"Aku rasa menyukainya bukan hal baik."

"Kenapa begitu?" Lucas menatap L bingung.

------------------------------------------------------

"Apa hanya ini yang bisa kau lakukan? Apa ini yang bisa kau tunjukkan sama papa?"

"Memang apa yang papa harapkan dariku?" Sahut Lucas malas.

"Apa tidak bisa sehari saja tidak mempermalukan papa?"

"Mempermalukan apa yang papa maksud? Berantem? Balapan?" tanya Lucas dingin. "Aku tidak pernah tuh sebut-sebut nama papa kalau lagi berantem atau balapan."

"Tidak bisa apa seperti L yang pintar dan penurut?"

Lucas mendengus.

"Tidak! Tentu saja tidak. Dia L bukan Lucas. Dan ini Lucas bukan L. Apa belum cukup papa ciptain robot tidak punya hati seperti L?!"

Plak!!

Lucas menutup matanya, merasakan getaran panas dipipinya dan membakar seluruh hatinya hingga menjadi debu.

"Berhenti cari perhatian papa dengan tingkah nakalmu."

Lucas kembali menatap papa dengan pandangan tak percaya. "Cari perhatian? Apa orang tua memang hanya punya satu otak dan menilaiku sebagai anak yang kurang perhatian?"

"Ya!" Tandas Lucas. "Cari perhatian? Aku memang cari perhatian. Seharusnya papa jemput mama pulang sekarang juga, biar anaknya tidak jadi robot dan berandalan yang kurang perhatian!" Jawab Lucas ketus, keluar ruang kerja papa. Tidak lagi memperdulikan apapun. Dia benci rumah. Dia tidak suka rumah ini.

Menuruni tangga, dia sempat bertemu L yang menatapnya datar.

"Lucas! Kembali sekarang!" Teriak papa garang.

L menahan lengan Lucas lalu ditampiknya begitu saja.

"Urus ayahmu." Kata Lucas melanjutkan langkahnya.

"Kau mau kemana?"

"Bukan urusanmu!" Dengan langkah lebar, Lucas keluar rumah sambil menyambar kunci mobil.

Brengsek! Motornya masih dibengkel. Dan dia tidak terlalu suka dengan mobil, terlalu besar dan kurang fleksibel.

Setelah menghidupkan mesin mobil dengan hanya dua kursi itu, Lucas melaju membelah kegelapan.

Kemanapun. Pergi kemanapun tanpa tujuan, sampai dia lelah. Sampai dia melupakan semuanya. Dia tidak suka rumah. Apapun alasannya, rumah hanya tempat untuk dia tidur, mandi dan berganti baju. Bahkan dia bisa saja melakukan tiga hal itu ditempat lain. Rumah Dareen atau lainnya. Rumahnya merupakan tempat terakhir yang dia tuju. Tempat pulang? Dia tidak punya tempat pulang semenjak ibu pergi.

Arght!!

"Brengsek!" Serunya setelah kehabisan tenaga.

Dunia selalu bertindak tidak adil padanya. Semua orang jahat. Ibu yang meninggalkannya. Ayah yang tak pernah bisa melihatnya. Aditya si brengsek nepotisme tikus sawah sampah. L yang bertindak seolah semua baik-baik saja. Dia yang berbeda. Kenapa harus berbeda.

Lucas membanting tubuhnya di rumput. Nafasnya berderu. Tengannya diletakkan diatas kepalanya.

Luka yang menganga. Membusuk dan bernanah. Sakit. Menyedihkan.

------------------------------------------------------

Hai \m/ Omega here. Glad to know you guys. Enjoy with me OK!!